JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Komisi III DPR RI mengingatkan Kejaksaan Agung untuk memastikan jajarannya tidak memanfaatkan pendekatan restorative justice sebagai lahan pemerasan baru. Alternatif penyelesaian perkara tindak pidana itu diharapkan tidak menyengsarakan masyarakat yang mencari keadilan.
"Khusus restorative justice, jangan jadi ladang pemerasan baru oleh oknum jaksa kepada masyarakat pencari keadilan," kata Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat Santoso dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (23/3).
Santoso tidak menginginkan, dalih pendekatan restorative justice, dimanfaatkan oknum jaksa untuk memeras pelaku dan korban dalam mencari keuntungan pribadi. Padahal, sudah menjadi tugas aparat penegak hukum untuk menfasilitasi pendekatan restorative justice dalam penanganan perkara pidana.
"Jadi, jangan lagi rakyat diperas atas program-program yang sebenarnya baik, tetapi di belakang menjerat rakyat untuk disusahkan atau disengsarakan lagi," tegas Santoso. Senada juga disampaikan Anggota Komisi III dari Fraksi PAN Sarifuddin Suding. Dia mewanti-wanti kejaksaan agar selektif dalam menerapkan restorative justice. Menurut Suding, tidak semua kasus pidana diselesaikan dengan mekanisme restorative justice.
"Saya pikir ini juga sangat selektif juga untuk dilakukan, jadi tidak semua kasus harus restorative justice. Lalu kemudian bagaimana SOP-nya, itu juga sangat penting, jangan sampai ini menjadi lahan baru dalam upaya-upaya transaksional dalam penerapan restorative justice," papar Suding.
Sementara itu, Jampidum Kejagung Fadil Zumhana menyebut, kini sudah ada 823 perkara yang diselesaikan melalui restorative justice. Hal ini dilakukan berdasarkan peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative.
"Lebih dari 823 perkara tindak pidana umum telah diselesaikan oleh kejaksaan melalui penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative," ujar Fadil. Fadil menuturkan, jumlah tersebut memang tidak sebanding dengan banyak perkara yang ada. Sebab proses penghentian penuntutan restorative dilakukan secara selektif oleh Kejaksaan.
"Jumlah tersebut memang tidak sebanding dengan banyak perkara yang ada, karena proses pengentian penuntutan secara keadilan restorative dilakukan secara snagat selektif oleh kejaksaan dengan dilakikan gelar perkara dipimpin langsung oleh Jaksa Agung Muda tindak pidana umum setiap hari setiap pagi," tegas Fadil.(jpg)