JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Sejumlah pelanggaran HAM ditemukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2018.
Yang paling menonjol, yakni banyaknya masyarakat yang belum terpenuhi hak pilihnya oleh negara.
“Banyak dari mereka belum memiliki e-KTP ataupun Surat Keterangan (Suket) sebagai syarat memilih. Nah pertanyaannya, kalau kalau orang belum perekaman sama sekali bagaimana?" tanya Komisioner Komnas HAM Amiruddin di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (9/5/2018).
Adapun masalah lainnya menimpa pemilih yang baru akan berumur 17 tahun jelang waktu pemungutan suara tiba. Kemungkinan, para pemilih seperti itu kehilangan hak pilih sebab tidak sempat melakukan perekaman maupun pembuatan Suket.
"Misalnya begini, hari ini bulan ini dia belum 17 tahun, dia baru 17 tahun nanti pas seminggu menjelang pencoblosan bagaimana ini? Jelas saja pendataan data penduduk kacau balau," tegasnya.
Menurutnya, fakta-fakta seperti itu merupakan tanda upaya pemerintah dalam melakukan pendataan penduduk belum maksimal. Akan tetapi, di sisi lain, dia memandang pemerintah seolah-olah bangga dengan kinerjanya selama ini.
"Ini kan refleksi dari kacau balaunya pendataan data kependudukan. Nah pemerintah selalu PD (percaya diri) mengatakan kami udah sekian persen rekam, ini buktinya," cetusnya.
Untuk menyelesaikan permasalahan itu, dia mendorong diterbitkannya Perppu agar warga yang tidak memiliki e-KTP atau suket dapat melakukan pencoblosan menggunakan alternatif dokumen lain. Hal itu dianggap sebagai langkah tercepat menyelesaikan masalah tersebut.
"Jalan keluarnya apakah dibuatkan Perppu atau agreement antara Kemendagri, KPU, dan Bawaslu. Misalnya begini, mungkin dia tidak punya e-KTP, tapi punya KK. Karena di kami ini identitas kependudukan kan banyak sekali ada KK, KTP, paspor. Nggak bisa Dukcapil bilang kalau masyarakatnya nggak punya (e-KTP), ya, sudah," tutupnya.(ce1/sat)
Sumber: JPG
Editor: Boy Riza Utama