JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Dhahana Putra angkat bicara terkait isu pemberitaan viral seorang pekerja kontrak perempuan yang mesti bersedia tidur bersama bos. Hal itu dilakukan, jika ingin melakukan perpanjangan kontrak di suatu perusahaan di Cikarang, Jawa Barat.
"Jika benar isu viral di Cikarang tersebut terjadi, maka ini bukan semata pelanggaran hukum, tetapi juga permasalahan HAM," kata Dhahana kepada wartawan, Ahad (7/5).
Dhahana mengungkapkan, modus keji pelecehan seksual yang dilakukan oknum di perusahaan semacam itu dinilai benar-benar mencederai hak asasi para pekerja perempuan. Padahal, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk terus mendorong penghormatan, perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM (P5HAM) bagi perempuan di tanah air.
Selain UUD RI 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, komitmen perlindungan HAM bagi perempuan yang dilakukan pemerintah adalah dengan meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984.
Di dalam CEDAW, lanjut Dhahana, negara mendorong untuk memberikan jaminan keamanan dan perlindungan bagi perempuan termasuk di dunia kerja. Semangat P5HAM bagi perempuan di tanah air, juga kini semakin dikuatkan dengan adanya UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Menurut Dhahana, pada Pasal 12 dan 13 UU TPKS sangat jelas memberikan ancaman serius bagi pihak yang melakukan penyalahgunaan wewenang untuk mendapatkan keuntungan berupa eksploitasi seksual.
Berikut bunyi dari Pasal 12 UU TPKS :
“Setiap Orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan, kerentanan, ketidaksetaraan, ketidakberdayaan, ketergantungan seseorang, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan, atau memanfaatkan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari orang itu yang ditujukan terhadap keinginan seksual dengannya atau dengan orang lain, dipidana karena eksploitasi seksual, dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar," sebagaimana bunyi Pasal 12 UU TPKS.
Sementara itu, Pasal 13 UU TPKS menyatakan, 'Setiap orang secara melawan hukum menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya atau orang lain dan menjadikannya tidak berdaya dengan maksud mengeksploitasinya secara seksual, dipidana karena perbudakan seksual, dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 1 miliar'.
Oleh karena itu, Dhahana menegaskan pihaknya mengecam modus pelecehan seksual tersebut. Sebab, selain melanggar hukum juga bertentangan dengan HAM.
"Karena itu, Kami mengecam modus pelecehan seksual semacam ini karena jelas bertentangan dengan nilai-nilai HAM yang telah diadopsi dengan baik di dalam peraturan perundangan-undangan," tegas Dhahana.
Guna menindaklanjuti isu ini, Direktorat Jenderal HAM akan membangun koordinasi bersama Kemenaker, KemenPPPA, pemerintah provinsi Jawa Barat, dan pemerintah Kabupaten Bekasi.
"Kami sudah minta Pak Direktur Yankomas agar segera berkoordinasi baik dengan KemenPPPA, Kemenaker maupun Disnaker provinsi Jabar dan kabupaten bekasi untuk menelusuri kabar viral dugaan adanya modus pelecehan seksual yang merendahkan harkat dan martabat para pekerja perempuan," pungkasnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman