HARY B KORIUN

Gie (2)

Perca | Minggu, 18 Juni 2023 - 11:50 WIB

Gie (2)
Hari B Koriun (RIAU POS)

DALAM hal agama, sebagai penganut Khatolik dari keluarga yang taat, Hok Gie juga tetap kritis. Menurutnya, agama tidak lantas membuat manusia harus  menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan, yang membuat manusia tidak kreatif dan terkesan pasrah.

“Pagi-pagi mendengarkan ceramat antara lain dari seorang wanita atheis. Dia menyatakan  bahwa  the meaning of God adalah nonsens, dia menyakan bahwa agama (Kristen) menanamkan rasa dosa pada umat manusia, tidak toleran dan melarikan diri dari kenyataan. Wanita ini berpendapat bahwa  Tuhan adalah refleksi dari konsep super-human. Ia amat fanatik dan dominan, dan saya kira juga totaliter karena sikapnya yang ‘amat yakin’ menyerang agama mengingatkan saya pada ulama-ulama Islam dan Kristen yang fanatik di Indonesia. Saya kira, kita harus bersikap toleran dan jujur pada diri sendiri. Saya kasihan melihat orang-orang yang hipokrit yang menyerahkan segala-galanya pada Tuhan. Seolah-olah Tuhan adalah jawaban dari semua yang tidak jelas. Bagi saya setiap orang harus kreatif dan kepercayaan yang baik timbul dari pergumulan yang terus-menerus antara yakin dan kesangsian...” tulisnya di halaman lain dalam Catatan Seorang Demonstran.

Baca Juga : Napoleon (2)

Namun, di bagian lain, seperti dijelaskan Arief Budiman, Soe Hok Gie juga bisa menjadi “manusia biasa” yang merasakan kepedihan dan kekecewaan. Masih dalam pengantar buku itu, Arief menjelaskan bahwa suatu saat adiknya menemuinya, dan curhat. Ini dilakukannya menjelang dia berangkat mendaki Semeru pada Desember 1969, yang akhirnya menjadi akhir dari perjalanan hidupnya.

“Akhir-akhir ini saya selalu  berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan  ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan yang sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian,” kata Hok Gie.

 Soe Hok Gie memang sangat kecewa dengan Orde Baru, dengan Soeharto sebagai presiden. Dia tahu banyak tipu-muslihat. Meskipun dia menjadi salah satu orang terdepan dalam mengkritik Soekarno, tetapi dia tidak suka dengan perlakuan Soeharto terhadap Soekarno yang mati menderita dalam tahanan rumah. Dia juga marah dengan pembersihan terhadap orang-orang PKI dan simpatisannya. Dia marah karena rakyat bukan bertambah bahagia, tetapi tetap sengsara. Dia marah karena Soeharto justru memperkuat militer dan bertangan besi, membangun tirani. Sesuatu yang sangat dia tentang.

Namun, entah ada hubungannya atau tidak, seperti Tan Malaka, dia sadar sesadar-sadarnya bahwa idealisme memerlukan kekuatan dalam diri sendiri. Jauh-jauh hari, seorang temannya dari Amerika Serikat pernah menulis surat kepadanya, yang isinya mirip dengan perjalanan hidup Tan Malaka. Begini isinya: “Gie, seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian, selalu. Mula-mula kau membantu menggulingkan suatu kekuasaan yang korup untuk menegakkan kekuasaan yang lebih bersih. Tetapi setelah kekuasaan baru itu berkuasa, orang seperti kau akan terasing  lagi dan akan terlempar keluar dari sistem kekuasaan. Ini akan terjadi terus-menerus. Bersedialah menerima nasib ini, kalau kau mau bertahan (menjadi) seorang intelektual yang merdeka: sendirian, kesepian; penderitaan.”

Baca Juga : Pers Bebas

Hingga akhir hidupnya, Soe Hok Gie memang merasa terasing, meski beberapa teman karibnya tetap berada di sisinya. Dia tak masuk dalam pusaran kekuasaan seperti teman-teman seperjuangannya. Bahkan, namanya juga tak pernah tercatat dalam buku sejarah di sekolah-sekolah sebagai orang yang punya andil ikut menumbangkan tirani Orde Lama. Soeharto dan Orde Baru tak memasukkan namanya, meski dua orang dekatnya, Harsya W Bachtiar dan Nugroho Notosusanto, masuk dalam pusaran kekuasaan Orde Baru.

Soe Hok Gie mati dalam sunyi akibat menghirup gas baracun kawah di puncak Semeru, hanya sehari menjelang ulang tahunnya ke-27, 16 Desember 1969 (dia lahir 17 Desember 1942).  Sebelum dia melakukan pendakian itu, dia seolah sudah menghirup aroma kematiannya. Ini terlihat dari catatan terakhirnya (Senin, 8 Desember 1969):


 Dengan Josie saya ke Badil. Lalu saya ke Maria. Ngobrol-ngobrol selama satu jam. Ia kelihatan senang sekali dengan “suasana” yang timbul. Apakah benar tentang analisa Gani tentang hubungan saya-Maria setelah kita putus. Dia menahan saya ketika saya mau pergi jam 16.00. Padahal saya tahu dia harus les dengan Pak Dahlan. Saya berusaha sebiasa mungkin. Ini adalah ngobrol-ngobrol berdua  pertama setelah saya putus bulan Agustus yang lalu. Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kiang Fong dari Arief  hari Minggu yang lalu, saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru. Dengan Maria, Rina, dan juga ingin membuat acara intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kiang Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.

Dia mati di tempat yang seolah memang ditakdirkan bagi seorang idealis sejati: sunyi, sepi, terpencil, dan dingin. Hanya Herman Lantang, sahabat sejatinya, yang menemaninya saat gas laknat itu masuk ke paru-parunya dan membuat dia tercekik. Dekapan Herman yang membuatnya merasa nyaman hingga ruh meninggalkan raganya.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook