KOLOM PERCA HARY B KORIUN

Gie dan Sepi

Perca | Minggu, 13 Maret 2016 - 00:09 WIB

Gie dan Sepi

DALAM sebuah pengantar untuk buku adiknya, Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran (LP3ES, Jakarta 1983), Arief Budiman (Soe Hok Jin)  menulis:

 “Saya sedang duduk ketika seorang teman yang memesan peti mayat,  pulang. Dia tanya, apakah saya punya keluarga di Malang? Saya jawab tidak. Mengapa? Dia bercerita, tukang peti mati, ketika dia ke sana, bertanya, untuk siapa peti mati ini? Teman saya menyebut nama Soe Hok Gie, dan si tukang peti mati tampak agak terkejut. ‘Soe Hok Gie yang suka menulis di koran?’ dia bertanya. Teman saya mengiyakan. Tiba-tiba, si tukang peti mati menangis. Sekarang, giliran teman saya yang terkejut. Dia berusaha bertanya, mengapa si tukang peti mati menangis, tetapi yang ditanya terus menangis dan hanya menjawab, ‘Dia orang berani. Sayang dia meninggal...’”

Baca Juga :Upaya Mengembangkan Alih Wahana Seni

Di bagian lain, Arief juga menuliskan tentang seorang pilot dari AURI yang mengangkut jenazah Soe Hok Gie dari Malang mampir ke Yogyakarta, dan kemudian menuju Jakarta. Saat jeda di Yogyakarta, Arief dan si pilot duduk-duduk  di lapangan rumput sambil berbual-bual. Si pilot kemudian bertanya, apakah benar yang ada dalam peti mati di pesawat yang dipilotinya itu adalah jenazah Soe Hok Gie? Arief membenarkannya. Kemudian si pilot berkata: “Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus.”

Dalam pergerakan mahasiswa tahun 1966, yang kemudian sering disebut sebagai “Angkatan 66”, peran Soe Hok Gie sangat besar. Pasca G 30 S PKI yang gagal, dia ikut turun ke jalanan, selain tetap menulis artikel kritis di beberapa koran di Jakarta. Sebelum pemberontakan yang gagal itu, dia memang sering berseberangan dengan Soekarno. Bukan hanya dalam politik dan kebijakan Soekarno yang dianggap tak pro rakyat –berbeda dengan apa yang sering diucapkan  Soekarno yang katanya selalu ingin melakukan semuanya untuk rakyat--  tetapi juga dalam kehidupan pribadi Si Bung yang dikenal “mudah jatuh cinta” terhadap wanita cantik. 

Suatu kali, dia pernah marah ketika Soekarno mengundang banyak mahasiswa Universitas Indonesia (UI), almamaternya, untuk datang ke istana.  Soe Hok Gie berang karena tak ada esensi yang dibicarakan dalam pertemuan itu, selain keinginan Soekarno melihat gadis-gadis cantik dan ranum mahasiswi UI.

 Dia melawan Soekarno karena dianggap tidak berada di jalur yang benar dalam memegang amanat rakyat. Dia menulis di koran dengan kritik pedas dan membuat seluruh anggota keluarganya ketakutan karena banyak ancaman yang dialamatkan kepadanya.

Hok Gie bukan tak tahu risiko apa yang dilakukannya itu. Keberaniannya membuat dia sering berada dalam teror, dan yang pasti, merasa terasing dan sunyi di tengah hiruk-pikuk teman-temannya atau para politikus yang oportunis. “Bicara dengan Yap (Yap Thiam Hiem, tokoh hukum dan kemanusiaan yang juga keturunan yang hingga kini namanya dijadikan sebagai award untuk para pejuang kemanusiaan, red) membuat kita optimis melihat masa depan meski jalannya berat sekali. Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau praktis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis, sampai batas-batas sejauh-jauhnya,” tulisnya dalam catatan hariannya.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook