KOLOM PERCA HARY B KORIUN

Gie dan Sepi

Perca | Minggu, 13 Maret 2016 - 00:09 WIB

Gie dan Sepi

Setelah Soekarno jatuh dan Orde Baru di bawah Soeharto berkuasa, Hok Gie tak lantas menghamba pada penguasa baru itu. Dia tetap kritis. Meski dia sangat kritis terhadap Soekarno dan komunisme yang berkembang di Indonesia yang lebih berorentasi kekuasaan –hal itu dituangkannya dalam sekripsinya yang kemudian dibukukan dalam Orang-orang di Simpang Kiri Jalan--  namun dia tetap kritis ketika Soeharto dan para tentaranya melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat pemberontakan. Menurut Ben Anderson, Hok Gie adalah orang yang pertama kali berani melontarkan tuduhannya kepada penguasa Orde Baru tentang pembersihan jutaan massa PKI di daerah-daerah di Jawa dan Bali. Ada yang dibunuh secara massal, ada yang disiksa sampai mati dengan sendirinya, ada yang ditahan seumur hidupnya, dibuang ke berbagai daerah seperti ke Buru, atau yang lebih pedih lagi, banyak perempuan yang dijadikan pelacur di tahanan. Hok Gie sempat dipanggil militer atas apa yang disampaikannya itu.

Kekesalan Hok Gie bukan saja kepada penguasa Orde Baru, tetapi juga pada rekan-rekan seperjuangan yang pernah bersama-sama melakukan demonstrasi di jalanan melawan tirani Soekarno dan Orde Lama-nya. Banyak dari mantan mahasiswa itu yang akhirnya duduk di parlemen (DPR GR), menikmati kue kekuasaan. Mereka sibuk menghitung berapa rupiah di setiap harinya, sibuk membeli mobil Holden lewat kredit yang dibantu pemerintah, hidup bermewah-mewah laksana kaum borjuis baru yang jauh dari hakikat perjuangan.  Mereka lupa pada hakikat perjuangan yang mereka usung untuk “memerdekakan” rakyat.

Baca Juga :Upaya Mengembangkan Alih Wahana Seni

 Hok Gie kemudian mengirimkan ke teman-temannya yang duduk di parlemen itu peralatan kecantikan wanita, mulai dari bedak, lipstik hingga pakaian dalam. Ucapan yang disampaikannya pun sangat menohok: semoga kalian terus bisa berdandan dan bertambah cantik di muka penguasa (Orde Baru).

Hok Gie memang manusia yang sudah kehilangan urat takut. Banyak warga keturunan yang ketakutan dan dianggap sebagai warga negara kelas dua, namun dia tak takut dengan diskriminasi yang masih kental –hingga kini?--  ketika itu. Bahkan ketika ayahnya yang juga seorang pengarang dan sastrawan mengganti namanya dari Soe Lie Piet menjadi Salam Sutrawan, atau si abang, Soe Hok Jin menjadi Arief Budiman, Hok Gie tetap dengan nama lahirnya sebagai orang Tionghoa.

Atas kritiknya yang tajam dan pedas terhadap kondisi sosial politik, tidak sekali dua dia menerima teror, atau surat kaleng yang memaki-maki dirinya sebagai “Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja...” yang membuat ibunya sangat khawatir. Tapi dia tetap kukuh pada apa yang dia yakini, bahwa sekat antara pribumi atau non-pribumi, bisa dibuang oleh kesadaran masing-masing tentang hakikat diri sebagai manusia yang memiliki rasa kemanusiaan dalam dirinya. Hanya orang-orang yang sudah kehilangan rasa kemanusiaannyalah yang akan tetap menjadikan perbedaan-perbedaan sebagai “pembeda” dan harus dibedakan. Dia yakin, pemahaman tentang alkulturasi di segala pintu akan menyadarkan manusia Indonesia tentang hakikat sebagai manusia merdeka.

Dalam hal agama, sebagai penganut Khatolik dari keluarga yang taat, Hok Gie juga tetap kritis. Menurutnya, agama tidak lantas membuat manusia harus  menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan, yang membuat manusia tidak kreatif dan terkesan pasrah.

“Pagi-pagi mendengarkan ceramat antara lain dari seorang wanita atheis. Dia menyatakan  bahwa  the meaning of God adalah nonsens, dia menyatakan bahwa agama (Kristen) menanamkan rasa dosa pada umat manusia, tidak toleran, dan melarikan diri dari kenyataan. Wanita ini berpendapat bahwa  Tuhan adalah refleksi dari konsep super-human. Ia amat fanatik dan dominan, dan saya kira juga totaliter karena sikapnya yang ‘amat yakin’ menyerang agama mengingatkan saya pada ulama-ulama Islam dan Kristen yang fanatik di Indonesia. Saya kira, kita harus bersikap toleran dan jujur pada diri sendiri. Saya kasihan melihat orang-orang yang hipokrit yang menyerahkan segala-galanya pada Tuhan. Seolah-olah Tuhan adalah jawaban dari semua yang tidak jelas. Bagi saya setiap orang harus kreatif dan kepercayaan yang baik timbul dari pergumulan yang terus-menerus antara yakin dan kesangsian...” tulisnya di halaman lain catatan hariannya.

Namun, di bagian lain, seperti dijelaskan Arief Budiman, Soe Hok Gie juga bisa menjadi “manusia biasa” yang merasakan kepedihan dan kekecewaan. Masih dalam pengantar buku itu,  Arief menjelaskan,  suatu saat adiknya menemuinya, dan curhat. Ini dilakukannya menjelang berangkat mendaki Semeru pada Desember 1969, yang akhirnya menjadi akhir dari perjalanan hidupnya.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook