Sartono, misalnya, menguraikan tentang sebuah pemberontakan yang dianggap kecil dan tak ditulis dalam buku pelajaran di sekolah, yakni gerakan petani di Banten 1988. Dalam buku Pemberontakan Petani Banten 1888 dijelaskan Bapak Sejarah Indonesia ini, gerakan (Sartono menulisnya sebagai sebuah pemberontakan karena ketika itu yang dilawan mereka adalah sebuah pemerintahan) yang meledak awalnya pada 9 Juli sebagai salah satu pemberontakan rakyat menentang Belanda yang menjadi spirit bagi masyarakat Banten dalam memandang sebuah wacana luas, bahwa kolonialisme adalah kekuatan yang tidak memiliki hak di tanah mereka. Meski itu lolakitas kecil Banten, tetapi menjadi sebuah gambaran bahwa ada persamaan dalam diri masyarakat yang sekarang bernama Indonesia, bahwa Belanda dan segala bentuk kolonialisme adalah musuh yang nyata yang tak berhak atas tanah yang mereka kuasai. Banten sendiri, yang di zaman Belanda adalah karesidenan, kemudian di masa Orde Baru hanyalah sebuah wilayah kabupaten, kini sudah berkembang menjadi sebuah provinsi tersendiri pasca Reformasi.
Ini juga terlihat bahwa gerakan serupa (gerakan-gerakan kecil masyarakat pedesaan yang cukup merepotkan Belanda) juga terjadi di Klaten (1865) yang digerakkan oleh Mangkuwijaya, Srikaton (Tawangmangu) atau Ahmad Suhada (Ponorogo) yang terjadi tahun 1888, Dermajaya (Nganjuk) pada 1907, atau gerakan petani di Muara Tembesi dan Muara Tebo di Jambi pada sekitar tahun 1911. Yang unik lagi, Sartono juga melihat, ada sebuah kesamaan pola gerakan (“pemberontakan”) yang meletup tersebut dengan memakai persepsi kepercayaan tradisional masyarakat tentang adanya Ratu Adil (sang pembebas), yakni sebuah kepercayaan yang berawal dari ramalan Jayabaya tentang datangnya seorang pembebas yang akan membawa masyarakat tertindas kepada sebuah masyarakat madani yang sejahtera.
Dan, hampir semua gerakan yang terjadi tersebut dipimpin oleh orang-orang yang mengaku mendapat wangsit (wahyu), bahwa mereka diberi kepercayaan oleh “Yang di Atas” untuk memimpin masyarakat melawan penindasan yang dilakukan kolonial Belanda maupun pemimpin-pemimpin lokal yang juga tidak kalah kejam dibanding Belanda sendiri.
Dalam bagian lain, lewat refleksi dan analisa sejarahnya, Sartono menjelaskan bahwa persoalan kekerasan, korupsi, hancurnya perekonomian dan banyak hal yang muncul saat ini, bisa dilihat dari pandangan sejarah, bahwa pola-pola tersebut juga terjadi hampir di setiap masa. Inti dari persoalan itu, sangat berhubungan dengan etos kerja masyarakat, kerakusan rezim penguasa, tatanan hukum yang tidak tegas, atau buruknya sistem nilai yang ada dalam masyarakat karena tak ada lagi kepercayaan terhadap seorang panutan yang sebelumnya sangat diharapkan oleh masyarakat. Hal seperti ini tidak hanya terjadi di masa kolonial, tetapi juga di masa Orde Lama, Orde Baru dan hampir di setiap pergantian kepemimpinan. Di masa kini, hal ini juga terjadi.
Taufik Abdullah menilai, apa yang ditulis Sartono dalam buku-bukunya atau dalam artikel-artikel sejarahnya, adalah cerminan diri sang begawan sejarah Indonesia ini dalam memandang krisis Indonesia dari kaca mata sejarahnya. Bahwa Sartono adalah seorang guru dari segala guru sejarah di Indonesia, termasuk mereka yang tak pernah berguru kepada Sartono. @harybkoriun