HARY B KORIUN

Gie

Perca | Minggu, 11 Juni 2023 - 11:35 WIB

Gie
Hary B Koriun (RIAU POS)

DALAM sebuah pengantar untuk buku adiknya, Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran (LP3ES, Jakarta 1983), Arief Budiman (Soe Hok Jin)  menulis:

 “Saya sedang duduk ketika seorang teman yang memesan peti mayat,  pulang. Dia tanya, apakah saya punya keluarga di Malang? Saya jawab tidak. Mengapa? Dia bercerita, tukang peti mati, ketika dia ke sana, bertanya, untuk siapa peti mati ini? Teman saya menyebut nama Soe Hok Gie, dan si tukang peti mati tampak agak terkejut. ‘Soe Hok Gie yang suka menulis di koran?’ dia bertanya. Teman saya mengiyakan. Tiba-tiba, si tukang peti mati menangis. Sekarang, giliran teman saya yang terkejut. Dia berusaha bertanya, mengapa si tukang peti mati menangis, tetapi yang ditanya terus menangis dan hanya menjawab, ‘Dia orang berani. Sayang dia meninggal...’”

Baca Juga : Napoleon (2)

Di bagian lain, Arief juga menuliskan tentang seorang pilot dari AURI yang mengangkut jenazah Soe Hok Gie dari Malang mampir ke Yogyakarta, dan kemudian menuju Jakarta. Saat jeda di Yogyakarta, Arief dan si pilot duduk-duduk  di lapangan rumput sambil berbual-bual. Si pilot kemudian bertanya, apakah benar yang ada dalam peti mati di pesawat yang dipilotinya itu adalah jenazah Soe Hok Gie? Arief membenarkannya. Kemudian si pilot berkata: “Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus.”

Dalam pergerakan mahasiswa tahun 1966, yang kemudian sering disebut sebagai “Angkatan 66”, peran Soe Hok Gie sangat besar, meski buku sejarah resmi versi pemerintah tak pernah mencatatnya. Paca G 30 S PKI yang gagal, dia ikut turun ke jalanan, selain tetap menulis artikel kritis di beberapa koran di Jakarta. Sebelum pemberontakan yang gagal itu, dia memang sering berseberangan dengan Soekarno. Bukan hanya dalam politik dan kebijakan Soekarno yang dianggap tak pro rakyat –berbeda dengan apa yang sering diucapkan Soekarno yang katanya selalu ingin melakukan semuanya untuk rakyat--  tetapi juga dalam kehidupan pribadi Si Bung yang dikenal “mudah jatuh cinta” terhadap wanita cantik.  

Suatu kali, dia pernah marah ketika Soekarno mengundang banyak mahasiswa Universitas Indonesia (UI), almamaternya, untuk datang ke istana.  Soe Hok Gie berang karena tak ada esensi yang dibicarakan dalam pertemuan itu, selain keinginan Soekarno melihat gadis-gadis cantik dan ranum mahasiswi UI.

 Dia melawan Soekarno karena dianggap tidak berada di jalur yang benar dalam memegang amanat rakyat. Dia menulis di koran dengan kritik pedas dan membuat seluruh anggota keluarganya ketakutan karena banyak ancaman yang dialamatkan kepadanya.

Baca Juga : Ambigu

Hok Gie bukan tak tahu risiko apa yang dilakukannya itu. Keberaniannya membuat dia sering berada dalam teror, dan yang pasti, merasa terasing dan sunyi di tengah hiruk-pikuk teman-temannya atau para politikus yang oportunis. “Bicara dengan Yap (Yap Thiam Hiem, tokoh hukum dan kemanusiaan yang juga keturunan yang hingga kini namanya dijadikan sebagai award untuk para pejuang kemanusiaan, pen) membuat kita optimis melihat masa depan meski jalannya berat sekali. Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau praktis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis, sampai batas-batas sejauh-jauhnya,” tulisnya dalam catatan hariannya.

Setelah Soekarno jatuh dan Orde Baru di bawah Soeharto berkuasa, Hok Gie tak lantas menghamba pada penguasa baru itu. Dia tetap kritis. Meski dia sangat kritis terhadap Soekarno dan komunisme yang berkembang di Indonesia yang lebih berorentasi kekuasaan –hal itu dituangkannya dalam sekripsinya yang kemudian dibukukan dalam Orang-orang di Simpang Kiri Jalan--  namun dia tetap kritis ketika Soeharto dan para tentaranya melakukan pembersihan terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat pemberontakan. Menurut Ben Anderson, Hok Gie adalah orang yang pertama kali berani melontarkan tuduhannya kepada penguasa Orde Baru tentang pembersihan jutaan massa PKI di daerah-daerah di Jawa dan Bali. Ada yang dibunuh secara massal, ada yang disiksa sampai mati sendiri, ada yang ditahan seumur hidupnya, dibuang ke berbagai daerah seperti ke Buru, atau yang lebih pedih lagi, banyak perempuan yang dijadikan pelacur di tahanan. Hok Gie sempat dipanggil militer atas apa yang disampaikannya itu, namun dia tak ditahan.

Kekesalan Hok Gie bukan saja kepada penguasa Orde Baru, tetapi juga pada rekan-rekan seperjuangan yang pernah bersama-sama melakukan demonstrasi di jalanan melawan tirani Soekarno dan Orde Lama-nya. Banyak dari mantan mahasiswa itu yang akhirnya duduk di parlemen (DPR GR), menikmati kue kekuasaan. Mereka sibuk menghitung berapa rupiah di setiap harinya, sibuk membeli mobil Holden lewat kredit yang dibantu pemerintah, hidup bermewah-mewah laksana kaum borjuis baru yang jauh dari hakekat perjuangan.  Mereka lupa pada hakikat perjuangan yang mereka usung untuk “memerdekakan” rakyat.

 Hok Gie kemudian mengirimkan ke teman-temannya yang duduk di parlemen itu peralatan kecantikan wanita. Mulai dari bedak, lipstik, hingga pakaian dalam. Ucapan yang disampaikannya pun sangat menohok: “Semoga kalian terus bisa berdandan dan bertambah cantik di muka penguasa (Orde Baru).”

Hok Gie memang manusia yang sudah kehilangan urat takut. Banyak warga keturunan yang ketakutan dan dianggap sebagai warga negara kelas dua, namun dia tak takut dengan diskriminasi yang masih kental –hingga kini?--  ketika itu. Bahkan saat ayahnya yang juga seorang pengarang dan sastrawan mengganti namanya dari Soe Lie Piet menjadi Salam Sutrawan; atau si abang, Soe Hok Jin menjadi Arief Budiman; Hok Gie tetap dengan nama lahirnya sebagai orang Tionghoa.

Atas kritiknya yang tajam dan pedas terhadap kondisi sosial politik, tidak sekali dua dia menerima teror, atau surat kaleng yang memaki-maki dirinya sebagai “Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja...” yang membuat ibunya sangat khawatir. Tapi dia tetap kukuh pada apa yang dia yakini, bahwa sekat antara pribumi atau non-pribumi, bisa dibuang oleh kesadaran masing-masing tentang hakikat diri sebagai manusia yang memiliki rasa kemanusiaan dalam dirinya. Hanya orang-orang yang sudah kehilangan rasa kemanusiaannyalah yang akan tetap menjadikan perbedaan-perbedaan sebagai “pembeda” dan harus dibedakan. Dia yakin, pemahaman tentang alkulturasi di segala pintu akan menyadarkan manusia Indonesia tentang hakikat sebagai manusia merdeka.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook