JAKARTA, April
1999. Lelaki tua itu masuk ke dalam ruangan, duduk di antara pembicara yang
lain dan sejenak kemudian langsung berbicara. Meski keriput terlihat di
sana-sini, namun dia masih kelihatan kokoh dan berotot. Dia memang terlambat,
moderator sudah lebih dulu membuka acara diskusi itu sebelum lelaki itu sampai.
Kemudian sang moderator, Hilmar Farid, memberi kesempatan kepada lelaki itu
untuk menyampaikan pikiran-pikirannya. “Saya
senang berada di sini, di antara anak-anak muda yang seharusnya patriotik dan
membebaskan diri dari pengaruh kapitalisme-imperialisme yang lama membelenggu
kita...” dan kemudian terdengar suaranya yang lantang dan kuat yang membuat
seluruh yang ada menjadi diam, memperhatikan setiap ucapannya. Lelaki
itu Pramudya Ananta Toer, yang telah wafat pada 30 April 2006 lalu. Dialah
pengarang Indonesia paling terkenal di dunia, yang karya-karyanya sudah
diterjemahkan dalam lebih 50 bahasa dan orang Indonesia yang paling dekat
dengan penghargaan Nobel, meski hingga akhir hayatnya, Nobel itu tak pernah
sampai kepadanya. Pram dianggap sebagai simbol perlawanan oleh banyak anak muda
dan dia memang selalu membakar semangat anak-anak muda di setiap acara yang
diikutinya, termasuk ketika itu saat menjadi pembicara dalam peluncuran Majalah
Jaringan Kerja Budaya yang dibidani
Hilmar Farid (kini Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), Arswendi Nasution dan yang lainnya. Di
kalangan anak-anak muda yang suka kekiri-kirian, Pram dianggap pahlawan, dan
itu terlihat ketika itu. Saya yang baru datang ke Jakarta dan belum banyak
kenal orang, melihat bagaimana anak-anak muda itu hormat kepada Pram. Mereka
diam dan takzim mendengarkan Pram yang sedang bicara. Terus
terang, saya bukan pengagum setia Pram. Seperti Rosihan Anwar, saya tidak suka
dengan bahasa Pram yang lambat dalam karya-karyanya. Beberapa buku Pram saya
miliki, namun hanya beberapa yang selesai saya baca. Tetralogi yang terkenal Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca
dan Jejak Langkah, sudah lama saya
baca ketika buku itu masih dilarang oleh penguasa Orde Baru, secara
sembunyi-sembunyi. Namun, saya selalu
membaca cerita tentang lelaki kelahiran Blora ini. Pikiran-pikiran dan
tindakan-tindakan termasuk penderitaan-kemiskinan sebelum dia masuk Lekra/PKI
atau setelah keluar dari Buru, memunculkan empati tersendiri, bahwa Pram memang
seorang laki-laki yang kuat, hebat, kokoh meski di beberapa bagian dia
sebenarnya lelaki yang rapuh yang pantas dipahami dan dimaklumi sebagia
manusia. Seperti
dikisahkan oleh Ajip Rosidi, Taufik Ismail, Bokor Hutasuhut dan Rosihan Anwar (Horison, Agustus 2006), Pram pada
dasarnya bukan orang yang konsisten dengan pandangan dan pilihan politiknya: marxisme-komunisme.
Dia korban yang terjerumus dan tak ditolong oleh teman-temannya. Pram seorang
yang individualistis, dan ini sangat bertentangan dengan marxis-komunis yang
mengutamakan sama rata sama rasa. Seperti dikisahkan Ajip, kemiskinan telah
menjerumuskan Pram ke dalam ideologi kiri yang kini terbukti hancur di
mana-mana itu (kecuali Cina, Kuba, Vietnam, Kamboja, Laos, Korea Utara dan
beberapa negara kecil lainnya). Beberapa
waktu kemudian Pram ditawari menerjemahkan novel pengarang Rusia, Maxim Gorki, Ibunda. Tak lama setelah itu, bersama
Utuy juga, Pram menjadi delegasi Indonesia menghadiri Konferensi Pengarang Asia
di Tashkent, Uni Soviet (sekarang Turkmenistan). Hal inilah yang membuat para
seniman anti-komunis menganggap bahwa Pram dan Utuy memang benar-benar sudah
masuk dalam aliran kiri-komunis. Imbasnya, karya-karya Pram benar-benar ditolak
di penerbitan manapun, salah satunya Majalan Star Weekly pimpinan PK Ojong yang sebelumnya banyak memuat karya
Pram.
Menurut
Ajip, sikap inilah salah satunya yang menjerumuskan Pram semakin jauh ke dalam
aliran kiri. Jika saat itu ketika orang kiri baru berusaha mendekatinya dan
teman-temannya melakukan pendekatan untuk “mempertahankannya”, Pram tidak akan
menjadi orang kiri. Individualisme Pram tidak akan sepaham dengan komunisme,
dan menurut banyak orang, jika saja PKI berhasil dalam kudeta, orang seperti
Pram juga bakal dihabisi karena dianggap tidak segaris dengan kebijakan partai.
Seorang individualis tidak penting dalam garis partai seperti PKI. Pram
kemudian benar-benar terjerumus dalam ide komunisme ketika ia diberi
keleluasaan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan menjadi editor halaman
budaya “Lentara” di Harian Bintang Timur.
Dengan dua pisaunya itu, Pram benar-benar berseberangan dengan mereka yang kemudian
menandatangani Manifes Kebudayaan seperti HB Jassin, Bokor Hutasuhut, Goenawan
Mohamad, Bakdi Soemanto, Mochtar Lubis dan yang lainnya termasuk Buya HAMKA.
Menurut Taufik Ismail, dengan pemahaman marxisme-komunisme yang dipaksakan dan
tak mengakar, Pram dengan bahasa kasar dan propaganda, selalu mengajak
pembacanya untuk memusuhi kelompok Manifes Kebudayaan dengan kata-kata
“ganyang”, “hancurkan”, “pembabatan total” dan lain sebagainya.@harybkoriun