KOLOM HARY B KORIUN

Sartono

Perca | Sabtu, 09 Januari 2016 - 00:01 WIB

Sartono

PADA  tahun 1923, ada sebuah peristiwa “sederhana” tetapi sebenarnya memiliki makna lebih dari sekadar sebuah peristiwa. Ini bermula dari perkumpulan mahasiswa yang datang dari “tanah Hindia” (Indonesia sekarang) yang melakukan studi di Belanda, yang semula menamakan dirinya  De Indische Vereeniging menjadi Indonesiche Vereeniging. Jelas dua nama tersebut mengandung makna yang berbeda dan mendalam.

Yang pertama adalah sebuah nama yang identik dengan sebuah negara jajahan yang terbelakang, kuno, memiliki pemikiran  inlander (pribumi kolot) dengan segala kemiskinan dan kebodohannya. Sedangkan yang kedua adalah sebuah cita-cita, sebuah keinginan, sebuah harapan dan sebuah perjuangan yang kemudian menyadarkan mereka bahwa sebuah bodohan, kemiskinan, terjajah atau terbelakang harus diperjuangkan untuk menjadi sesuatu yang bebas. “Sesuatu” itu adalah sebuah wilayah geogafis yang berada di bahwa ketiak kolonial Belanda, yang ternyata, memiliki kekuatan dahsyat yang kemudian menjadi sebuah semangat baru: menjadi Indonesia (Indonesische) yang terbebas dari segala keterkungkungan itu.

Baca Juga :Upaya Mengembangkan Alih Wahana Seni

Perubahan nama tersebut, yang semula hanya menjadi semacam perhimpunan mahasiswa yang studi di Belanda dari sebuah tanah dengan geografis yang sama dari tanah kolonial, ternyata berubah menjadi sebuah kecendrungan politik yang kuat. Nama Indonesia yang dipakai, menjadi sebuah sugesti tinggi akan sebuah cita-cita besar tersebut.

Pada tahun 1923, perkumpulan dengan nama berbahasa Belanda itu akhirnya menjadi sangat eksklusif karena kemudian diubah memakai bahasa Melayu, yakni Perhimpoenan Indonesia  (PI). Mereka kemudian mengeluarkan “Manifesto Politik” yang berisikan hasrat untuk memperjuangkan tercapainya kemerdekaan Indonesia yang demokratis. Sebuah majalah yang mereka terbitkan yang sebelumnya bernama Hindia Poetera  diganti dengan Indonesia Merdeka, dan semboyan “Indonesia merdeka, sekarang!” diperkenalkan pula meski masih memakai bahasa Belanda.

Ada tiga hal penting yang menurut Sartono Kartodirdjo dalam buku Sejak Indische sampai Indonesia, yang kemudian menjadi landasan sebuah cita-cita besar yang kemudian terwujud pada 17 Agustus 1945, yakni adanya sebuah bangsa yang bernama Indonesia, adanya sebuah negeri yang bernama Indonesia dan bangsa ini menunjuk kemerdekaan bagi negerinya. Menurut Taufik Abdullah, jika mau lebih teliti, maka gerakan mahasiswa yang dilakukan oleh mereka yang terkumpul dalam PI inilah yang sebenarnya dianggap pelopor gerakan nasionalisme antikolonial yang radikal: muda, terpelajar, dan kosmopolitan dan dengan jelas merumuskan ke mana pergerakan kebangsaan semestinya diarahkan.

Namun, dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah sebuah tonggak yang bahkan dimitologikan sebagai pembentukan bangsa Indonesia, padahal itu tak lebih dari sebuah tekad tetang penyatuan diri berbagai lapisan masyarakat di Indonesia (baca: daerah dan budaya), sementara Manifesto Politik PI 1923 (lima tahun sebelumnya), telah melampaui ke semua tingkat itu dan menjadikan “Indonesia Merdeka, sekarang!” sebagai tujuan perjuangan.

Sartono terlihat rinci menjabarkan sebuah proses terjadinya bangsa ini (Indonesia) yang sangat rinci yang masuk dalam nalar kita. Sartono tidak menampik bahwa perang-perang besar (sebelum masa pergerakan) yang terjadi (Perang Diponegoro, Perang Paderi, Perang Aceh, Perang Mataram dan sebagainya) ikut membantu sebuah ide yang bermula pada penyatuan wilayah Indonesia yang memiliki rasa sakit yang sama akibat penjajahan Belanda. Namun, dalam tulisan-tulisannya Sartono juga menjelaskan bahwa perang-perang “kecil” yang terjadi di wilayah Indonesia (terutama Jawa) pada masa itu, ikut membantu dalam proses “menuju Indonesia” tersebut.









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook