HARY B KORIUN

Pram (1)

Perca | Minggu, 07 Mei 2023 - 11:25 WIB

Pram (1)
Hary B Koriun (RIAU POS)

JAKARTA, April 1999. Lelaki tua itu masuk ke dalam ruangan, duduk di antara pembicara yang lain dan sejenak kemudian langsung berbicara. Meski keriput terlihat di sana-sini, namun dia masih kelihatan kokoh dan berotot. Dia memang terlambat, moderator sudah lebih dulu membuka acara diskusi itu sebelum lelaki itu sampai. Kemudian sang moderator, Hilmar Farid –kini Dirjen Kebudayaan-- memberi kesempatan kepada lelaki itu untuk menyampaikan pikiran-pikirannya.

“Saya senang berada di sini, di antara anak-anak muda yang seharusnya patriotik dan membebaskan diri dari pengaruh kapitalisme-imperialisme yang lama membelenggu kita…” dan kemudian terdengar suaranya yang lantang dan kuat yang membuat seluruh yang ada menjadi diam, memperhatikan apa setiap ucapannya.

Baca Juga : Napoleon

Lelaki itu Pramudya Ananta Toer, telah wafat pada 30 April 2006 lalu. Dialah pengarang Indonesia paling terkenal di dunia, yang karya-karyanya sudah diterjemahkan dalam 41 bahasa dan orang Indonesia yang paling dekat dengan penghargaan Nobel, meski hingga akhir hayatnya, Nobel itu tak pernah sampai kepadanya. Pram dianggap sebagai simbol perlawanan oleh banyak anak muda dan dia memang selalu membakar semangat anak-anak muda di setiap acara yang diikutinya, termasuk ketika itu saat menjadi pembicara dalam peluncuran Majalah Jaringan Kerja Budaya yang dibidani Hilmar Farid, Arswendi Nasution, dan yang lainnya.

Di kalangan anak-anak muda yang suka kekiri-kirian, Pram dianggap pahlawan, dan itu terlihat ketika itu. Saya yang baru datang ke Jakarta dan belum banyak kenal orang, melihat bagaimana anak-anak muda itu hormat kepada Pram. Mereka diam dan takzim mendengarkan Pram yang sedang bicara.

Terus terang, saya bukan pengagum setia Pram. Seperti Rosihan Anwar, saya tidak suka dengan bahasa Pram yang lambat. Hampir semua novel Pram saya miliki, namun tak ada yang selesai saya baca. Tetralogi yang terkenal Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca dan Jejak Langkah, sudah lama saya baca ketika buku itu masih dilarang oleh penguasa Orde Baru secara sembunyi-sembunyi, namun tak tamat semuanya. Hanya Bumi Manusia yang berhasil saya selesaikan dengan terengah-engah. Ketika buku-buku itu dijual bebas, saya membelinya,tetapi belum juga berhasil menyelesaikan semuanya.

 Namun, saya selalu membaca cerita tentang lelaki kelahiran Blora ini. Pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan termasuk penderitaan-kemiskinan sebelum dia masuk Lekra atau setelah keluar dari Buru, memunculkan empati tersendiri, bahwa Pram memang seorang laki-laki yang kuat, hebat, kokoh meski di beberapa bagian dia sebenarnya lelaki yang rapuh yang pantas dipahami dan dimakalumi sebagia manusia.

Baca Juga : Ambigu

Seperti dikisahkan oleh Ajip Rosidi, Taufik Ismail, Bokor Hutasuhut dan Rosihan Anwar (Horison, Agustus 2006), Pram pada dasarnya bukan orang yang konsisten dengan pandangan dan pilihan politiknya: marxisme-komunis. Dia adalah korban yang terjerumus dan tak ditolong oleh teman-temannya. Pram seorang yang individualistis, dan ini sangat bertentangan dengan marxis-komunis yang mengutamakan sama rata sama rasa. Seperti dikisahkan Ajip, kemiskinan telah menjerumuskan Pram ke dalam ideologi kiri yang kini terbukti hancur di mana-mana itu (kecuali Cina, Kuba, Vietnam, Kamboja, Laos, Korea Utara dan beberapa negara kecil lainnya).

Pram pernah mengalami masa buruk sekitar tahun 1956, yakni tak makan beberapa hari dan kemudian datang ke rumah Ajib untuk meminta nasi. Isu yang yang muncul bahwa Pram tengah didekati oleh orang-orang komunis membuat tak ada penerbit yang mau menerbitkan novelnya dan surat kabar tak ada yang mau menerima cerpen-cerpennya lagi yang membuatnya mengalami krisis keuangan. Kondisi inilah yang dimanfaatkan betul oleh komunis ketika itu. Pram ditawari untuk pergi ke Cina menghadiri peringatan 20 tahun meninggalnya pengarang besar Cina, Lu Hsun, bersama penulis naskah drama Utuy Tatang Sontani. Beberapa waktu kemudian Pram ditawari menerjemahkan novel pengarang Rusia, Maksim Gorki, Ibunda.

Tak lama setelah itu, bersama Utuy juga, Pram menjadi delegasi Indonesia menghadiri Konferensi Pengarang Asia di Tashkent, Uni Soviet (sekarang Turkmenistan). Hal inilah yang membuat para seniman antikomunis menganggap bahwa Pram dan Utuy memang benar-benar sudah masuk dalam aliran kiri-komunis. Imbasnya, karya-karya Pram benar-benar ditolak di penerbitan manapun, salah satunya Majalan Star Weekly pimpinan PK Ojong yang sebelumnya banyak memuat karya Pram.

Menurut Ajip Rosidi, sikap inilah salah satunya yang semakin menjerumuskan Pram semakin jauh ke dalam aliran kiri. Jika saat itu, ketika orang kiri baru berusaha mendekatinya dan teman-temannya melakukan pendekatan untuk “mempertahankannya”, Pram tidak akan menjadi orang kiri. Individualisme Pram tidak akan sepaham dengan komunisme, dan menurut banyak orang, jika saja PKI berhasil dalam kudeta, orang seperti Pram juga bakal dihabisi karena dianggap tidak segaris dengan kebijakan partai. Seorang individualis tidak penting dalam garis partai seperti PKI.

Pram kemudian benar-benar terjerumus dalam ide komunisme ketika ia diberi keleluasaan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan menjadi editor halaman budaya “Lentara” di Harian Bintang Timur. Dengan dua pisaunya itu, Pram benar-benar berseberangan dengan mereka yang kemudian menandatangani Manifes Kebudayaan seperti HB Jassin, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, Bakdi Soemanto, Mochtar Lubis dan yang lainnya, termasuk Buya Hamka.***

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook