FORUM GURU - AGUSTINUS HERU SUSANTO

Orientasi Pendidikan yang Terjebak pada Nilai Akademik

Pendidikan | Minggu, 02 Juli 2023 - 11:30 WIB

Orientasi Pendidikan yang Terjebak pada Nilai Akademik
Agustinus Heru Susanto (ISTIMEWA)

Hiruk-pikuk pelaksanaan ujian nasional telah selesai. Ujian semester genap sebagai penentu kenaikan kelas pun sudah berakhir. Kita sebagai orang tua telah menerima hasil laporan akhir dari sekolah. Mungkin ada yang merasa senang karena nilai anaknya tinggi-tinggi, tetapi ada juga yang cemas karena nilai anaknya pas-pasan. Wajar kecamasan orang tua muncul karena masih banyak sekolah yang menggunakan nilai akademik menjadi indikator keberhasilan belajar siswa sepenuhnya. Indikator ini diwujudkan dengan perankingan nilai siswa yang kemudian menjadi patokan keberhasilan dalam menempuh pendidikan, baik keberhasilan naik kelas maupun keberhasilan untuk melanjutkan pendidikan di tingkat selanjutnya.

Perankingan ini menjadi semakin dikejar karena keterkaiatan kebutuhan untuk melanjutkan ke jenjang sekolah di tingkat lebih tinggi. Terutama karena sistem passing grade yang secara langsung korelatif dengan ranking menjadi pertimbangan penuh penerimaan siswa baru atau mahasiswa baru terutama di sekolah-sekolah negeri.


Dengan sistem seperti ini, tidak salah kalau sebagian dari orang tua begitu peduli dengan besaran nilai hasil belajar yang diperoleh anak. Bahkan ada yang  begitu paniknya saat ranking anaknya turun jauh, mereka  menjadi sasaran kemarahan yang kadang berlebihan.  Malah ada orang tua yang menjadikan hukuman fisik sebagai sanksi karena kegagalan anak dalam meraih ranking. Padahal hukuman itu sebenarnya tidak ada kaitannya langsung dengan proses belajar itu sendiri. Orang tua masih menganggap kalau ranking menjadi ukuran mutlak keberhasilan seseorang dalam belajar. 

Sistem ranking inilah yang membuat anak memiliki pandangan bahwa apa yang ia kerjakan dan ia kejar di bangku sekolah semata-mata hanyalah nilai. Akibatnya banyak siswa yang melakukan kecurangan hanya untuk mendapat hasil yang lebih baik dibandingkan teman-temannya. Lebih jauh lagi, ada pengaturan besaran nilai yang tersistem dilaksanakan oleh sekolah hanya untuk mendapatkan rata-rata tertinggi guna mendapatkan kursi di jenjang sekolah selanjutnya.  Artinya orientasi pendidikan yang menekankan  pada nilai-nilai yang berwujud numerik dan akademik masih menjadi prioritas utama dalam sistem pendidikan kita. Sangat jarang stakeholder pendidikan yang lebih memperhatikan nilai-nilai lain seperti moral, etika dan spiritualitas siswa.

Sangat berbeda dengan sistem pendidikan negara maju seperti Amerika dan Eropa terutama Negara Finlandia yang mempunyai kualitas pendidikan terbaik di dunia. Negara ini telah menjadi patron atau bahkan kiblat sistem pendidikan dunia dengan kulaitas pendidikan tertinggi.  Pemerintah Finlandia meniadakan sistem ranking di kelas karena mereka percaya bahwa setiap murid sudah seharusnya ranking satu. Bagi mereka, ranking lebih bersifat seperti kompetisi yang hanya akan menghasilkan ‘sejumlah murid pintar’ dan ‘sejumlah murid bodoh’. Finandia juga tidak mengadakan program akselerasi dan menekankan sistem pembelajaranyang kolaboratif. 

Begitu juga dengan Denmark negara tetangganya. Bagi orang Denmark, pendidikan lebih ditekankan pada bagaimana menanamkan karakter kepada anak-anak mereka. Nilai akademik, bukan menjadi ukuran. Kejujuran justru yang menjadi patokan tertinggi di sana. Selama orang-orangnya jujur, maka semua program akan berjalan dengan baik. Maka sudah wajar kalau negara ini termasuk paling rendah dalam bidang korupsi karena memang pendidikan karakter, mereka bentuk sejak dini.

Kondisi ini berbeda dengan Indonesia. Begitu sulitnya korupsi di Indonesia diberantas ibarat dimatikan satu akan tumbuh seribu. Laporan Lembaga Transparency International merilis indeks negara yang tidak korupsi seluruh dunia tahun 2017, Indonesia  masih pada peringkat 96 di bawah Timor Leste yang berada diperingkat 91. Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan tetapi kenyataannya korupsi masih terus meraja lela. Perlu proses panjang yang melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini peran serta pendidik di sekolah dan seluruh stakeholder-nya sangat dibutuhkan untuk bersama membentuk karakter anak.

Sekali lagi, keunggulan sesorang bukan sekedar ditentukan pada tinggi rendahnya nilai akademik di sekolah tetapi bagaimana siswa mampu berkomunikasi, jujur, mampu bekerja sama, beretika, mampu beradaptasi, mampu berorganisasi. Seperti hasil survey dari National Association of Colleges and Employers (NACE) yang  meneliti bahwa 20 Kepribadian Unggul (Winning Characteristic) seseorang justru terletak pada karakter-karakter tadi. Sedangkan untuk kemampuan akademik berada pada urutan ke-17. 

Artinya ukuran keberhasilan anak tidak sepenuhnya pada ranking berapa dia di kelas, berapa tinggi nilai-nilai pelajaran eksak mereka, seberapa banyak dia mendapatkan medali olimpiade. Akan tetapi, ukuran keberhasilan seseorang terletak pada bagaimana mereka  disiplin di sekolah, bagaimana kejujuran mereka dalam mengerjakan soal ujian, bagaimana mereka menghargai lingkungan dengan menjaga kebersihan dan membuang sampah pada tempatnya. Bagaimana mereka saling menghargai sesamanya, toleransi, dan perilaku positif yang kadang luput dari fokus pendidikan.


Semoga sebagai orang tua anak tidak lagi terjebak oleh sistem yang berorientasi sepenuhnya pada prestasi akadamik dan menyisihkan pendidikan kepribadian anak. Seperti yang dikatakan Bill McIntyre, Director of International Education Practice Franklin Covey bahwa anak kita seperti mutiara dalam kotak perhiasan yang cantik. Terlalu fokus pada kotak luarnya hanya akan membuat mutiaranya jadi terlupakan. Inilah paradigma yang harus diubah orangtua.***


Agustinus Heru Susanto, Staf Kurikulum SMA Santa Maria Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook