PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan merupakan hak bagi pekerja/buruh dari perusahaan tempatnya bekerja. Adanya THR sangat membantu pekerja/buruh yang merayakan hari besar keagamaannya. Di masa pandemi Covid-19, tidak ada istilah perusahaan untuk tidak membayar THR karyawan.
Untuk mengantisipasi perusahaan yang berkilah, LBH Pekanbaru pun membuka posko pengaduan THR online 2020.
"Posko pengaduan THR sudah diadakan setiap tahun. Namun, untuk tahun ini tentunya berbeda sebab adanya pendemi Covid-19. Sehingga, aduan harus dilakukan secara online," sebut koordinator posko Noval Setiawan, Selasa (19/5).
Dalam pada itu, Noval pun menyebut pengaduan THR akan berlangsung hingga lebaran etujuh. "Setelah adanya aduan dari masyarakat, kami akan menyurati perusahaan dan Disnaker. Tentunya yang tidak memberi THR akan ada sanksi dari Disnaker," ungkapnya.
Menurutnya, pengaturan terkait THR diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 78/2015 Tentang Pengupahan dan Permenaker Nomor 6/2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh diperusahaan yang mengatur kewajiban pengusaha memberikan THR.
Lebih jauh, masih kata Noval, THR merupakan pendapatan non-upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan (Pasal 1 angka 1 Permenaker No 6/2016). THR berbeda dengan gaji bulanan, THR berlaku untuk seluruh pekerja/buruh yang dibayarkan pada saat hari besar agama
"Pembayaran THR tidak hanya diberikan kepada pekerja/buruh yang telah memiliki masa kerja lebih dari satu tahun. Namum demikian, pekerja/buruh yang baru memiliki masa kerja satu bulan pun juga berhak mendapatkan THR oleh para pengusaha baik yang berstatus sebagai pekerja tetap (PKWTT) maupun pekerja kontrak (PKWT)," urainya.
Saat kondisi pandemi Covid-19, Menaker mengeluarkan Surat Edaran Nomor : M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan tahun 2020 di Perusahaan dalam masa pandemi Covid-19 pada 6 Mei 2020.
"Surat edaran tersebut membuat posisi pekerja/buruh semakin rentan. Hal ini dikarenakan substansi dalam SE Menaker No. M/6/HI.00.01/V/2020 telah menghilangkan peran dari pemerintah untuk memenuhi hak-hak dari pekerja. Di antaranya, pemberian THR dapat dilakukan dengan perundingan antara pekerja dan pengusaha. Tentunya ini menghilangkan peran pemerintah untuk mengintervensi dalam hal pemenuhan hak-hak pekerja," ucapnya.
Bila perusahaan tidak mampu membayar THR sama sekali pada waktu yang ditentukan sesuai peraturan perundang-undangan, Noval sampaikan, pembayaran THR dapat dicicil atau dilakukan penundaan sampai jangka waktu tertentu yang disepakati antara pengusaha dan pekerja.
"Kesepakatan antara pengusaha dan pekerja tersebut harus dilaporkan ke dinas ketenagakerjaan setempat. Yang paling penting dalam surat edaran tersebut adalah kesepakatan mengenai waktu dan cara pembayaran THR keagamaan, dan denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar besaran THR sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku," ulasnya.
Kendati demikian, jangan sampai Surat Edaran tersebut menjadi alibi bagi perusahaan untuk menunda bahkan tidak membayarkan THR kepada pekerja/buruh. Dalam PP Pengupahan mewajibkan pengusaha membayar THR selambatnya H-7 Lebaran. Bila terlambat akan dikenai denda 5 persen dari total THR dan dikuatkan Permenaker Nomor 6/2016.
"Perusahan haruslah tunduk pada ketentuan PP dan Permenaker yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari surat edaran," tegasnya.(s)