Petani Sawit Diajak Beralih ke Singkong

Pekanbaru | Rabu, 19 Desember 2018 - 10:56 WIB

Petani Sawit Diajak Beralih ke Singkong
TINJAU PERKEBUNAN: Sekdaprov Riau Ahmad Hijazi meninjau perkebunan jagung dan singkong yang berada di Kecamatan Tapung, Kampar, Selasa (18/12/2018).

PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau menyarankan petani kelapa sawit untuk beralih bertani ke singkong. Bertani singkong dinilai lebih menguntungkan dibanding bertani sawit. Apalagi harga tandan buah segar (TBS) sawit sedang murah.

“Saat ini, harga sawit turun. Sebenarnya peluang kita di daerah ini banyak. Salah satu peluangnya itu adalah pertanian singkong,” kata Sekretaris Daerah Provinsi (Sekdaprov) Riau Ahmad Hijazi saat meninjau lahan perkebunan singkong di Kecamatan Tapung, Kampar, Selasa (18/12) siang.


 Kebutuhan singkong yang hasil olahannya menjadi tepung tapioka, sangat tinggi. Baik dari dalam negeri, maupun dari luar. “Sekarang ini Malaysia membutuhkan tepung tapioka sebagai bahan baku penganan di sana,” ujar dia.

Kata Sekda, di Riau sudah ada industri yang mengolah singkong menjadi tepung tapioka. Hanya saja, kebutuhan pabrik belum terpenuhi secara maksimal. Sementara permintaan tinggi. “Ada pabriknya di Simpang Panipahan. Kebutuhan bahan bakunya baru terpenuhi 40 persen,” jelasnya.

Industri singkong juga tengah mengembangkan usahanya. “Pengembangan pabrik juga akan dilakukan. Mereka akan bangun di berbagai kabupaten di Riau. Ini karena permintaan tepung tapioka besar dari luar negeri,” jelasnya.

Pertanian singkong ini menurut dia, sangat menjanjikan. Bahkan ada seorang camat di Riau yang meninggalkan jabatannya untuk menjadi seorang petani singkong.

Dari hitungan Ahmad Hijazi, pertanian singkong jauh menguntungkan dari pertanian sawit. Apalagi saat ini harga TBS sawit sedang murah.

“Pada posisi harga sawit sekarang, jauh lebih untung ubi. Harga singkong per kilogram Rp1.300. Dalam satu hektare menghasilkan 100 ton dalam delapan bulan. Artinya, Rp130 dalam delapan bulan,” kata dia.

“Cara bertani mana yang bisa mendapatkan seperti itu? Perhitungannya jelas. Masyarakat harus melihat lihat ini. Kita juga dorong masyarakat untuk bisa beralih ke singkong,” kata dia.

Ada juga kata Sekda, petani sawit yang telah beralih ke singkong, yakni petani sawit di Tapung, Kampar. “Ada yang meremajakan sawit, tapi tak jadi. Dia beralih ke singkong.

Artinya, sudah ada hitungan ekonominya, bahwa singkong lebih menguntungkan,” jelasnya.
Dharma Putra, salah seorang penggagas pertanian singkong di Tapung mengatakan, awalnya dia bertani di lahan seluas 32 hektare. Lalu dikembangkan dengan pola kerja sama dengan masyarakat.

“Kita tak punya lahan. Tapi, kita kerja sama dengan masyarakat yang punya lahan kosong. Sistemnya nanti bagi hasil,” kata dia.

Saat ini, sudah ada 60 orang petani yang bergabung dalam Kelompok Tani Harapan Jaya. “Jadi sekarang lahan kita sudah mencapai 330 hektare. Lahan itu terbagi di beberapa titik yang terpisah. Yang sudah panen 120 hektare,” katanya.

Dia menyebut, panen singkong dalam rentang waktu 8-11 bulan. Singkong yang dimaksud adalah jenis singkong racun. Jenis ini hanya digunakan untuk tepung tapioka. “Dalam satu hektare itu hasilnya 80-100 ton,” kata Dharma.

Untuk biaya per hektarenya kata dia, mencapai Rp25,5 juta. Setelah panen, akan mampu menghasilkan Rp130 juta. “Kalau dibanding dengan sawit, jauh lebih untung bertani singkong ini,” kata dia.(dal)

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook