PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Kasus Bongku, masyarakat adat Suku Sakai yang dikriminalisasi karena mengelola tanah ulayatnya untuk menanam ubi, memasuki tahap akhir. Pembacaan putusan oleh Pengadilan Negeri (PN) Bengkalis dilakukan secara online, Senin (18/5).
Ketua majelis hakim Endah Karmila Dewi menyatakan Bongku bin Jelodan bersalah. Bongku dinyatakan melanggar pasal 82 Ayat (1) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Dia dihukum 1 tahun penjara dengan denda 200 juta dan subsider 1 bulan kurungan.
"Menyatakan Bongku bin Almarhum Jelondan bersalah dengan melakukan penebangan pohon di kawasan hutan tanpa memiliki izin dari pejabat yang berwenang. Dan menjatuhi hukuman 1 tahun penjara denda Rp200 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayarkan maka diganti kurungan 1 bulan," kata hakim ketua, Endah didampingi hakim anggota, Aulia Fatma Widnola dan Zia Ul Jannah Idris.
Selanjutnya, hakim memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan. Kemudian menyerahkan barang bukti berupa 1 bilah parang dan 2 batang pohon eukaliptus yang bekas ditebang.
"Demikian diputus dalam rapat majelis hakim Pengadilan Negeri Bengkalis, pada Selasa 12 Mei 2020," kata Endah dalam dakwaannya.
Sontak saja, keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Bengkalis tersebut membuat para simpatisan Bongku merasa kecewa. Koalisi Pembela Masyarakat Adat menilai bahwa hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang penasihat hukum (PH) kemukakan.
"Yang jelas kami sangat kecewa dengan putusan hakim yang tidak mempertimbangkan fakta-fakta yang PH kemukakan," kata Koordinator Koalisi Pembela Mayarakat Adat, Eko Fambudi, kepada Riau Pos, Selasa (18/5).
Tim koalisi bersama penasihat hukum nantinya akan berdiskusi dengan Pak Bongku mengenai hal ini untuk memutuskan langkah selanjutnya. Karena sewaktu sidang, PH tidak sempat bertemu langsung dengan Pak Bongku.
"Nanti kami akan ketemu dan diskusi dulu, baru memutuskan langkah hukum selanjutnya," ujar Eko.
Eko bersama tim hukum bakal terus mendampingi kasus yang menimpa Bongku, masyarakat adat suku Sakai ini.
"Juga termasuk mendampingi warga lain di dusun Pak Bongku yang juga rawan dikriminalisasi oleh perusahaan," katanya.
Diketahui, Bongku bin Jelodan merupakan warga RT 01 RW 02 Dusun Duluk Songkal, Desa Koto Pait Beringin, Kecamatan Tualang Mandau, Kabupaten Bengkalis. Ia ditangkap lantaran menebang 20 batang pohon eucalyptus dan akasia milik PT Arara Abadi. Dia kemudian menjadi tersangka dan didakwa pasal UU 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Sebelumnya, Pengurus Besar Himpunan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Sakai Riau (PB-HPPMS-R) angkat bicara terkait kriminalisasi terhadap Bongku dari masyarakat adat suku Sakai. Ketua Pemuda dan Mahasiswa Sakai Riau, Iwan Saputra menilai bahwa PT Arara Abadi telah merusak tatanan adat suku Sakai yang ada di Riau.
Menurut Iwan Sakai, sapaannya, masyarakat adat sudah ada jauh sebelum perusahaan itu ada, dan mereka hanya untuk membuka lahan pertanian di tanah ulayatnya.
"Bila ini terus dibiarkan, akan menyebabkan ketakutan di tengah tengah masyarakat adat untuk bertani dan berkebun yang selama ini merupakan mata pencariannya. Pemuda-pemudi Sakai ini tidak ingin masyarakat adat hidup dalam kesusahan dan takut mengelola tanah ulayatnya untuk melangsungkan hidup,” ujarnya.
Sebelumnya Bongku, petani suku Sakai ini tengah berjuang untuk melepas jeratan hukum yang dituduhkan kepadanya. Dukungan moril dari koalisi pembela masyarakat adat dan lembaga bantuan hukum terus mengalir kepadanya. Bahkan, kasus kriminalisasi Bongku menyita perhatian publik yang akhirnya membuat Koalisi Pembela Hak Masyarakat Adat mengumpulkan amicus curiae dari berbagai kalangan untuk diserahkan kepada majelis hakim yang persidangan. Salah satu yang memberikan amicus curiae adalah guru besar kebijakan kehutanan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo MS yang pernah ikut membahas UU P3H pada saat UU ini dirancang.
Selain itu, ada 13 amicus curiae lain yang diserahkan ke pengadilan, yaitu Kurnia Warman guru besar hukum agraria pada Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Hayatul Ismi pengajar di Fakultas Hukum Universitas Riau, Mexsasai Indra dosen pada program magister Ilmu Hukum Universitas Riau, Erdianto pengajar hukum pidana Lektor Kepala (Associated Professor untuk Hukum Pidana) Universitas Riau, Zainul Akmal dosen Fakultas Hukum Universitas Riau & Koordinator Gusdurian Pekanbaru.
Kemudian Grahat Nagara pengajar hukum administrasi negara Universitas Indonesia, pengajar hukum agraria Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Roni Saputra peneliti hukum Yayasan Auriga Nusantara, Feri Amsari Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) dan dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Perkumpulah HuMa, Lokataru Kantor Hukum dan Hak Asasi Manusia (Lokataru Law & Human Rights Office), Komisi Untuk Orang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Selain amicus curiae tersebut, publik juga memberi dukungan kepada Bongku melalui tanda tangan petisi online di https://www.change.org/Bebaskanbongku. Dari petisi online tersebut sudah terkumpul 5.026 tanda tangan dan sudah diserahkan kepada majelis hakim. Dukungan lain dapat dilihat dari berbagai lini media sosial dengan menyertakan hastag #bebaskanbongku.
Kasus Bongku berawal pada Ahad (3/11/2019) yang ditangkap oleh sekuriti PT Arara Abadi. Dia dituduh menebang pohon akasia dan eucalyptus milik PT Arara Abadi. Sejak saat itu Bongku mendekam di tahanan untuk menjalani proses hukum.(*1/egp)