PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Mantan Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Badan Pertanahan Nasional (BPN) Riau dan Maluku Utara, Muhammad Syahrir dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Syahrir dinyatakan bersalah atas perkara tindak pidana korupsi (tipikor) gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Kamis (31/8).
Pada sidang vonis yang dipimpin hakim Salomo Ginting didampingi hakim anggota Yuli Artha Pujoyotama dan Yelmi, Syahrir dinyatakan terbukti secara sah melanggar Pasal 12 huruf a dan huruf b juncto Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 UU Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
‘’Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Muhammad Syahrir selama 12 tahun,"sebut hakim Salomo membacakan putusan. Hakim juga menghukum Syahrir untuk membayar denda sebesar Rp1 miliar. Dengan ketentuan, apabila denda tidak dibayar maka dapat diganti pidana 6 bulan kurungan.
Pensiunan ASN asal Palembang, Sumatera Selatan itu juga dihukum membayar uang pengganti kerugian negara sebesar 112.000 dolar Singapura dan Rp21,1 miliar. Apabila uang itu tidak dibayarkan, maka dapat diganti dengan pidana penjara selama 3 tahun.
Vonis yang dijatuhkan majelis hakim ini lebih tinggi enam bulan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam sidang tuntutan, JPU KPK Rio Frandy dan kawan-kawan menuntut Muhammad Syahrir agar dihukuman 11 tahun 6 bulan penjara.
JPU KPK juga menuntut Syahrir membayar denda sebesar Rp1 miliar, dengan ketentuan, apabila denda tidak dibayar maka dapat diganti pidana 6 bulan kurungan. Hakim juga diminta jaksa agar Syahrir dihukum membayar uang pengganti kerugian negara sebesar 112 ribu dolar Singapura dan Rp21,1 miliar. Apabila tidak dibayarkan, maka dapat diganti dengan pidana penjara selama 3 tahun.
Atas vonis tersebut, Syahrir yang hadir secara virtual pada sidang tersebut menyatakan pikir-pikir. Dirinya meminta waktu berdiskusi bersama para penasehat hukumnya.
Sementara itu, perwakilan Penasehat Hukum Syarir, Hasnul Adrian saat ditemui di usai sidang mengatakan kemungkinan pihaknya akan lakukan banding. ‘’Tadi (saat sidang, red) kami sudah sampaikan akan pikir-pikir. Tapi in sya Allah kita akan banding karena putusan majelis tadi lebih tinggi dari tuntutan,"ungkap Hasnul.
JPU KPK sebelumnya mendakwa Syahrir menerima gratifikasi dari perusahaan-perusahaan maupun pejabat yang menjadi bawahannya. Tidak hanya itu, KPK menjerat Syahrir dengan TPPU karena uang itu dialihkannya dengan membeli sejumlah aset. Selama menjabat menjabat Kakanwil BPN Provinsi Maluku Utara dan Riau pada periode 2017-2022, Syahrir diduga telah menerima uang gratifikasi mencapai Rp20,9 miliar.
Dalam dakwannya, jaksa menjerat Syahrir dengan Pasal 12 huruf a dan huruf b jo. Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP dan Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Terungkapnya perkara rasuah Syahrir ini tidak lepas dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap GM PT Adimulia Agrolestari (AA) Sudarso terkait suap kepada Bupati Kuansing Andi Putra pada Oktober 2021 silam. Sudarso yang memberikan suap terkait pengurusan HGU perkebunan sawit PT AA dihukum 2 tahun penjara dan denda Rp200 juta.
Runut, Ketua Majelis Hakim Dahlan menjatuhkan vonis 5 tahun 7 bulan penjara kepada Andi Putra, mantan bupati Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) di PN Pekanbaru Rabu (27/7) lalu. Selain itu ,Majelis Hakim juga menghukum Andi membayar denda sebesar Rp200 juta. Hukuman itu kemudian dipangkas MA menjadi 4 tahun.
Syahrir diketahui menyarankan direksi PT AA agar meminta rekomendasi dari mantan Bupati Kuansing Andi Putra sebagai syarat keluarnya HGU. Permintaan rekom itu pada prosesnya memicu tindak pidana suap atau gratifikasi terhadap Andi.
Menyusul kemudian, Komisaris PT AA Frank Wijaya yang memberi suap Syahrir sebesar 112.000 dolar Singapura dihukum 2 tahun 2 bulan pada sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Yuli Artha di PN Pekanbaru pada Rabu (29/3) lalu. Frank juga didenda Rp200 juta atas perbuatannya.(end)
Laporan HENDRAWAN KARIMAN, Pekanbaru