PEKANBARU (RIAUPOS.CO) -- Sekdaprov Riau nonaktif Yan Prana Jaya Indra Rasyid kembali menjalani sidang lanjutan dugaan korupsi anggaran di Bappeda Siak senilai Rp2,8 miliar di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru, Senin (31/5).
Dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Lilin Herlina itu, jaksa penuntut umum (JPU) Hendri Junaidi SH MH dan kawan-kawan menghadirkan delapan saksi. Yakni Suhartini, Damaskan, Said, Ade Kusendang, Eka Susanti, Dian Candra, Budiman dan Dona Fitria (Bendahara Bappeda Siak 2013-2015).
Dalam keterangannya, saksi Dona Fitria mengakui pernah memberikan uang kepada Yan Prana yang kala itu sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Siak atau selaku pengguna anggaran (PA). Uang yang diserahkannya tersebut berasal dari pemotongan uang perjalanan dinas 10 persen pegawai di Bappeda Siak.
"Uang hasil pemotongan 10 persen itu saya yang simpan. Setiap Pak Yan Prana minta saya kasih. Kadang satu bulan itu tidak menentu berapa jumlahnya, kadang ada Rp5 juta, kadang ada Rp10 juta secara bertahap. Yang jelas setiap Pak Yan Prana minta saya kasih," ucap Dona.
Dikatakan Dona, pemotongan anggaran perjalanan dinas di Bappeda Siak sebesar 10 persen sudah dilakukan sejak 2012. Yakni sebelum dirinya menjabat sebagai bendahara di Bappeda Siak pada 2013 hingga 2015.
"Saya hanya melanjutkan saja dari bendahara sebelumnya. Ketika saya tidak lagi menjabat sebagai bendahara, uang hasil pemotongan 10 persen yang saya simpan itu kemudian saya serahkan semuanya ke Pak Yan Prana Jaya," terangnya.
Dijelaskannya, setiap tahun di Bappeda Siak melaksanakan rapat atau pertemuan yang diikuti seluruh pegawai di Bappeda Siak. Dan di awal 2012 dalam rapat yang dipimpin Yan Prana juga pernah disampaikan dan memerintahkan soal pemotongan 10 perjalanan dinas tersebut.
"Karena ada yang merasa keberatan soal pemotongan 10 persen itu, maka saya sampaikan kepada Pak Yan Prana kalau ada yang keberatan. Makanya di 2014 kembali digelar rapat atau pertemuan yang dihadiri seluruh pegawai Bappeda menyampaikan kembali soal pemotongan 10 persen. Pak Yan yang memerintahkan dan menyampaikan langsung. Ketika ditanya oleh Pak Yan kepada pegawai dalam rapat itu tidak ada yang protes atau keberatan, semua diam saja," katanya.
Dilanjutkan Dona, uang hasil pemotongan 10 persen itu diserahkan semuanya ke Yan Prana. Untuk apa uang itu digunakan, Dona mengatakan tidak tahu. Hal yang sama (pemotongan) juga dilakukan oleh bendahara selanjutnya, Ade Kusendang. "Catatan soal pemotongan 10 persen itu sempat saya tulis. Tetapi sudah saya sobek karena disuruh oleh Pak Yan Prana. Saya catat agar saya bisa mengetahui berapa uang hasil pemotongan 10 persen itu yang keluar dan yang ada. Karena Pak Yan Prana minta uangnya tidak menentu," sebutnya.
Sementara itu untuk pengadaan makan minum dipesan oleh Eka Susanti (saksi). Ketika ditanya ketua majelis hakim soal harga anggaran makan minum, Dona menerangkan harganya sesuai dengan yang dipesan atau sesuai dengan dokumen pelaksana anggaran (DPA). Tetapi ketika dibayarkan ke pihak ketiga (rekanan) Dona mengatakan tidak sesuai. Makanannya kurang dari standar, artinya ada selisih harga.
"Ditulis sesuai DPA tapi yang dibayarkan tidak segitu. Dibayarkan di bawah DPA. Jadi ada selisih harga. Selisih harga itu dipegang oleh Eka Susanti (saksi). Saya tidak tahu berapa jumlah (uang) selisihnya. Eka Susanti berurusan langsung dengan terdakwa. Karena Eka Susanti sering menghadap terdakwa," ucapnya.
Dirinya juga mengungkapkan pernah menyerahkan uang hasil pemotongan perjalanan dinas 10 persen itu kepada Yan Prana pada 2014 sebesar Rp486 juta.
Sementara Yan Prana membantah keterangan Dona Fitria yang mengatakan bahwa pernah ada rapat di 2012. Yan Prana juga membantah kalau Dona Fitria tidak pernah menyampaikan uang kepada dirinya. Bahkan, Yan Prana juga mengklaim tidak pernah menerima uang.
Setelah mendengarkan semua keterangan-keterangan saksi yang dihadirkan JPU didalam persidangan, hakim ketua Lilin Herlina memutuskan sidang akan kembali dilanjutkan pada pekan depan.(dof)