TEL AVIV (RIAUPOS.CO) – Israel lumpuh. Penduduk berang. Ratusan ribu orang turun ke jalan. Mogok massal. Salah satu pemicunya, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu memecat Yoav Gallant sebagai menteri pertahanan.
Sebelumnya, Gallant berpidato menyerukan agar rencana reformasi hukum oleh pemerintah dihentikan. Pemecatan itu pun seolah menjadi bensin. Makin menyiram amuk penduduk yang beberapa pekan lalu sudah menentang RUU reformasi hukum tersebut.
’’Hentikan perombakan yudisial ini sebelum terlambat,’’ ujar Arnon Bar-David, pemimpin salah satu serikat buruh terbesar di Israel, Histadrut.
Biasanya, massa beramai-ramai turun ke jalan pada akhir pekan. Namun, kali ini situasinya berbeda. Makin runyam. Setidaknya ada 600 ribu orang yang mengikuti aksi di berbagai penjuru Israel. Termasuk mengepung rumah Netanyahu di Jerusalem. Ini adalah demo terbesar di negara tersebut.
Profesor politik Timur Tengah di NYU Abu Dhabi Monica Marks menuturkan, 600 ribu demonstran adalah angka yang luar biasa. Jumlah itu setara dengan 6,5 persen populasi penduduk Israel. ’’Kapan terakhir kali 6 persen penduduk suatu negara keluar untuk memprotes?’’ ucapnya, seperti dikutip CNBC. Akibat aksi tersebut, penerbangan di Bandara Ben Gurion dihentikan sementara. Sebab, para pekerja bandara memilih mogok kerja. Situasi serupa terlihat di dua pelabuhan terbesar Israel, yaitu Haifa dan Ashdod. McDonald’s di Israel juga memilih tutup sebagai bagian dari aksi mogok kerja. Bukan hanya itu, bank terbesar di Israel Leumi menutup cabang-cabang mereka sebagai bentuk protes. Kedutaan besar Israel di berbagai penjuru dunia juga diminta ikut serta. Kantor kedutaan besar Israel di AS tutup sementara.
Pada Selasa (27/3) pagi, parlemen Israel, Knesset, menggelar mosi tidak percaya pada Netanyahu. Memang, Netanyahu selamat dari mosi yang diusulkan kelompok oposisi tersebut. Namun, tekanan publik agar RUU perombakan sistem hukum dicabut terus menguat. Presiden Isaac Herzog yang posisinya lebih banyak bersifat seremonial juga mulai berkomentar. Lewat akun Twitter-nya, dia meminta pemerintah menghentikan rencana perombakan sistem hukum itu.
’’Demi persatuan rakyat Israel dan demi tanggung jawab, saya meminta Anda segera menghentikan proses legislatif (pembahasan RUU),’’ paparnya.
Herzog juga memohon agar para pimpinan faksi Knesset, baik koalisi maupun oposisi, menempatkan warga negara di atas segalanya. Mereka diminta bertindak secara bertanggung jawab dan berani tanpa menunda-nunda lagi.
Di sisi lain, para pendukung Netanyahu ingin proses pembuatan RUU itu tetap berjalan. Menteri Keamanan Itamar Ben-Gvir menegaskan, proses reformasi hukum harus jalan terus. Pemerintah tidak perlu menyerah terhadap anarkis. Sementara itu, Menteri Kehakiman Yariv Levin menyerahkan sepenuhnya polemik tersebut kepada Netanyahu. Baik itu RU dibatalkan atau justru disahkan.
Menurut Levin, jika semua orang melakukan apa yang mereka inginkan, maka pemerintahan bisa jatuh. Karena itu, pemerintahan dan koalisi harus distabilkan. Beberapa tahun terakhir, situasi di Israel memang terbelah. Utamanya di tingkat parlemen. Partai yang menang cenderung tidak mutlak dan sulit mencari koalisi yang pas. Sejak April 2019, Israel sudah menggelar pemilu lima kali.
’’Kita tak pernah sedekat ini dengan kehancuran. Apa yang terjadi dalam 24 jam terakhir adalah kegilaan, kehilangan kendali, dan kehilangan arah. Ini bukti bahwa pemerintahan ini telah kehilangan rem,’’ kata mantan PM Israel Yair Lapid di hadapan para anggota parlemen
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman