Sejumlah Negara Tarik Duta Besar dari Israel

Internasional | Jumat, 03 November 2023 - 09:43 WIB

Sejumlah Negara Tarik Duta Besar dari Israel
Seorang anak yang mendukung Muslim Talba Mahaz Pakistan meneriakkan slogan-slogan saat unjuk rasa solidaritas kepada warga Palestina di Lahore, Kamis (2/11/2023). (ARIF ALI/AFP)

TEL AVIV (RIAUPOS.CO) – Tak kunjung ada tanda-tanda gencatan senjata membuat sejumlah negara mengambil sikap tegas terhadap Israel. Bolivia memutuskan hubungan diplomatik dengan negara yang dipimpin Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu itu. Beberapa negara lain juga menarik duta besar mereka di Israel.

Bukan kali pertama Bolivia memutus hubungan dengan Israel. Pada 2009, Bolivia melakukan hal serupa setelah terjadi pertempuran berdarah di Jalur Gaza. Saat itu Bolivia dipimpin Presiden Evo Morales. Selama berkuasa, Morales dikenal akan kritik-kritik tajamnya pada Israel.


Namun, hubungan diplomatik dengan Israel terjalin kembali ketika Bolivia dipimpin Presiden Jeanine Anez (2019–2020). Saat ini, presiden Bolivia adalah Luis Arce dari Partai Movimiento al Socialismo. Dia menjabat menteri keuangan ketika Morales berkuasa.

Pada 2021, Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS) menetapkan Hamas sebagai organisasi teroris. OAS terdiri atas 35 negara di Amerika Utara dan Selatan. Nah, kala itu Bolivia merupakan satu dari beberapa negara yang tidak sepakat dengan keputusan tersebut.

’’Kita tak bisa tinggal diam dan membiarkan penderitaan rakyat Palestina,’’ ungkap Presiden Luis Arce pada Selasa (31/10), seperti dikutip The Wall Street Journal.

Kemudian, Selasa malam, Wakil Menteri Luar Negeri Bolivia Freddy Mamani mengumumkan secara resmi keputusan negaranya untuk memutus hubungan diplomatik dengan Israel. Kebijakan itu diambil sebagai penolakan dan kecaman atas serangan militer Israel yang agresif dan tidak proporsional di Jalur Gaza. Bolivia juga bakal mengirim bantuan kemanusiaan ke Palestina.

Pihak Israel pun geram dengan keputusan Bolivia. Mereka menyebut Bolivia patuh pada terorisme dan rezim Ayatollah Ali Khamenei di Iran. Kementerian Luar Negeri Israel juga menyatakan, hubungan dengan Israel tidak berarti apa-apa sejak Arce dilantik sebagai presiden. Dikatakan, memutus hubungan dengan Israel berarti Bolivia bersekutu dengan Hamas.

Di sisi lain, tekanan terhadap Israel meluas. Beberapa jam setelah Bolivia memutus hubungan diplomatik, negara Amerika Latin lainnya turut menarik duta besarnya dari Israel. Yakni, Cili dan Kolombia. Argentina dan BraZil juga meningkatkan kritik terhadap Israel atas pembunuhan rakyat sipil.

Presiden Cili Gabriel Boric menyatakan, warga sipil yang tidak bersalah adalah korban utama serangan Israel. Namun, pihaknya juga mengutuk serangan dan pembunuhan yang dilakukan Hamas. Sementara itu, Presiden Kolombia Gustavo Petro bersikap lebih blak-blakan mengecam Israel dengan membagikan banyak pesan di media sosial.

’’Ini disebut genosida. Mereka melakukannya untuk mengusir rakyat Palestina dari Gaza dan mengambil alihnya. Kepala negara yang melakukan genosida adalah pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan,’’ bunyi unggahan Petro di X (dulu Twitter).

Rabu (1/11), giliran Jordania memanggil pulang duta besarnya di Israel. Sebab, Israel dinilai telah membunuh orang tak berdosa dan memicu bencana kemanusiaan di Gaza.

Menteri Luar Negeri Jordania Ayman Al-Safadi mengatakan, kebijakan itu adalah ekspresi penolakan dan kecaman atas perang yang berkecamuk di Gaza. Jordania juga meminta Kementerian Luar Negeri Israel agar tidak mengirim kembali duta besar ke Amman. Sebelumnya, Israel memulangkan sementara Rogel Rachman, duta besar mereka untuk Jordania, karena masalah ancaman keamanan.

Timur Tengah Kian Mendapat Tekanan Publik

Negara-negara Timur Tengah yang sudah atau sedang menormalisasi hubungan dengan Israel belakangan mendapat tekanan. Bukan dari luar, melainkan dalam negeri mereka. Penduduk dan tokoh-tokoh oposisi meminta mereka untuk kembali memutus hubungan dengan Tel Aviv.

Reaksi itu menyusul kekejian Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dalam serangan di Jalur Gaza. Sejak perang pecah 7 Oktober lalu, gelombang pengunjuk rasa turun ke jalan untuk memberikan dukungan pada Palestina. Termasuk di Timur Tengah.

Aksi itu juga terjadi di Maroko dan Bahrain, dua negara yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel. Sebelumnya, Bahrain hampir tak pernah mengizinkan protes di jalanan. Kini, penduduk diperbolehkan berdemo di depan Kedutaan Besar Israel di Manama. Para aktivis menuntut untuk memutuskan hubungan dengan Israel.

’’Hamas bukan teroris. Ini adalah perlawanan terhadap penjajahan. Bayangkan seseorang memasuki rumah Anda, bagaimana Anda akan bersikap? Tersenyum atau suruh mereka pergi dengan paksa?’’ ujar Abouchitae Moussaif, sekretaris nasional Al Adl Wal Ihsane Maroko, seperti dikutip ABCNews.

Pekan lalu, komite parlemen di Tunisia juga mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan mengkriminalisasi normalisasi hubungan dengan Israel. Mesir yang memiliki hubungan dengan Israel selama beberapa dekade pun tak luput dari tekanan publik.

AS menjadi penengah bagi Israel untuk menjalin hubungan dengan negara-negara Arab lewat kesepakatan Abraham Accords. Tujuannya, agar Israel mendapat pengakuan yang lebih luas di dunia Arab, serta membuka jalan bagi kesepakatan perdagangan dan kerja sama militer dengan Bahrain, Maroko, Sudan, dan Uni Emirat Arab yang dimulai pada 2020.

Perjanjian itu menandai kemenangan diplomatik besar bagi Maroko. Sebab, AS dan Israel mengakui otonominya atas Sahara Barat yang disengketakan. Perjanjian itu juga membuat Washington menghapus Sudan dari daftar negara sponsor terorisme sehingga memberikan bantuan bagi junta militer yang berkuasa dalam memerangi gerakan prodemokrasi dan peningkatan inflasi. Nah, sasaran AS saat ini adalah normalisasi hubungan Israel dengan Arab Saudi.

Peneliti senior studi Timur Tengah dan Afrika di Dewan Hubungan Luar Negeri Steven Cook mengungkapkan, kesepakatan yang diharapkan antara Israel dan Arab Saudi jadi semakin kecil karena perang dan protes di seluruh kawasan. ’’Saya pikir dinamika normalisasi ini akan melambat atau terhenti, setidaknya untuk jangka waktu tertentu,’’ ujar Cook.

Namun, Jubir Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby punya pendapat lain. Selasa (31/11), dia menyatakan bahwa Riyadh masih tertarik mencapai kesepakatan yang akan menormalisasi hubungan dengan Israel setelah perang di Gaza berakhir.

Rabu (1/11), Menteri Pertahanan Saudi Khalid bin Salman bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken di Washington DC. Mereka membicarakan cara untuk menenangkan situasi di Timur Tengah terkait pertempuran di Gaza.(sha/c18/hud/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook