GAZA (RIAUPOS.CO) - Serangan pasukan militer Israel (IDF) di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023 silam, telah menyebabkan lebih dari 20.000 warga Palestina tewas serta 50.000 lainnya terluka.
Meski berhasil selamat dari serangan tersebut, namun para korban yang terluka ini harus menghadapi pilihan sulit.
Kebanyakan dari para korban, mengalami cedera dan luka yang parah akibat agresi Israel.
Tak hanya luka yang mengakibatkan para korban harus mengamputasi anggota tubuhnya atau berisiko meninggal dunia, namun para korban juga harus kehilangan anggota keluarga.
Dilansir dari AFP, Rabu (27/12/2023), seorang dokter memberikan pilihan sulit kepada Shaimaa Nabahin, warga Palestina yang kakinya terluka akibat serangan IDF.
Ia diberi pilihan menghilangkan kaki kirinya atau berisiko meninggal dunia akibat luka yang parah tersebut.
Remaja berusia 22 tahun itu telah dirawat di rumah sakit di Gaza selama sekitar satu minggu, setelah pergelangan kakinya patah sebagian akibat serangan udara.
Pada tanggal 13 November, ketika serangan udara IDF menghantam rumah tetangga Nabahin di Bureij, pergelangan dan arteri di kakinya sebagian putus oleh gumpalan semen yang berhembus ke dalam rumahnya akibat ledakan.
Dia adalah satu-satunya anggota keluarganya yang terluka, sementara sejumlah tetangganya tewas, katanya.
Remaja tersebut kemudian dibawa ke Rumah Sakit Martir Al-Aqsa terdekat, di mana dokter berhasil menjahit kakinya dan menghentikan pendarahan.
Nabahin mengatakan, ia hanya mendapat sedikit perawatan atau perhatian dari para dokter karena kurangnya pasokan medis dan banyaknya korban. Alhasil beberapa hari kemudian, kakinya berubah warna menjadi gelap, katanya.
Dokter memberi tahunya bahwa dia menderita keracunan darah. Nabahin akhirnya memilih untuk memaksimalkan peluangnya untuk bertahan hidup, dan setuju untuk mengamputasi kakinya 15 sentimeter (6 inci) di bawah lutut.
“Seluruh hidup saya telah berubah,” kata Nabahin, berbicara dari tempat tidurnya di Rumah Sakit Martir Al-Aqsa di pusat kota Deir al-Balah.
“Jika saya ingin mengambil langkah atau pergi ke mana pun, saya memerlukan bantuan,” tambahnya.
Amputasinya berjalan lancar, namun Nabahin mengatakan dia masih merasakan sakit yang akut dan tidak bisa tidur tanpa obat penenang.
Sebelum konflik berlangsung, Nabahin merupakan mahasiswa jurusan hubungan internasional di Gaza. Ia memiliki cita -cita melakukan perjalanan ke Jerman untuk melanjutkan studinya.
Namun serangan Israel telah memupuskan impiannya, ia mengatakan, tujuannya sekarang adalah keluar dari Gaza untuk “menyelamatkan apa yang tersisa dari saya, dan memasang kaki palsu dan menjalani hidup saya secara normal,” ujarnya.
Di Rumah Sakit Martir Al-Aqsa, terdapat banyak pasien yang diamputasi sedang berjuang untuk memahami bagaimana kehilangan anggota tubuh telah mengubah hidup mereka.
Nawal Jaber, 54 tahun, kedua kakinya diamputasi setelah dia terluka pada 22 November, ketika pemboman Israel menghantam rumah tetangganya yang kosong dan merusak rumahnya di Bureij.
Serangan tersebut telah mengakibatkan cucunya terbunuh, dan suami serta putranya terluka, katanya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Eka G Putra