JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Perintah dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) mengenai analog switch off (ASO) sudah sangat jelas. Migrasi siaran dari analog ke digital tersebut harus sepenuhnya dilakukan paling lambat 2 November 2022.
Awalnya, setelah gagal ASO pada 17 Agustus 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah membuat jadwal ASO dalam tiga tahapan. ASO tahap pertama paling lambat 30 April, tahap kedua 25 Agustus, dan tahap ketiga pada 2 November 2022. Namun, gelagat tidak terpenuhinya target itu justru muncul pada hari di mana tenggat ASO tahap pertama seharusnya dijalankan.
Menkominfo Johnny G Plate mengungkapkan bahwa strategi yang diambil adalah dengan multiple-ASO, atau ASO yang dilaksanakan sesuai dengan kesiapan wilayah layanan. Tidak terlalu jelas tentang maksud dari kesiapan tersebut. Namun, yang selalu dijadikan patokan adalah evaluasi atas pelaksanaan pembagian set top box (STB) yang merupakan komitmen dari penyelenggara multiplekser (mux) saat lelang dilaksanakan beberapa tahun lalu.
Puncak dari ketidakjelasan pelaksanaan ASO tersebut adalah setelah rapat koordinasi di Kantor Menkopolhukam pada 24 Oktober 2022, atau sekitar sepekan dari tenggat ASO. Pasca pertemuan tersebut, dalam keterangan pers bersama, Johnny G. Plate menyebutkan bahwa ASO pada 2 November belum bisa dilaksanakan di semua wilayah. Politikus Partai Nasdem itu mengatakan, baru ada 222 dari total 514 Kabupaten/Kota di Indonesia yang siap menggelar ASO sesuai tenggat.
“Masih terdapat 292 Kabupaten/Kota yang akan kita lakukan Analog Switch Off sesuai kesiapan-kesiapan wilayah,” lanjut Johnny.
Di kesempatan yang sama, Menko Polhukam Mahfud MD juga mengatakan hal serupa. Mahfud mengatakan, migrasi dilakukan secara bertahap karena masih ada beberapa infrastruktur, terutama STB yang belum selesai didistribusikan. “Jadi, dari sudut pemerintah sudah siap, tinggal swasta nanti kami lakukan bersama-sama sesudah itu,” kata Mahfud.
Saat Menko Polhukam menyebut kesiapan swasta dalam konferensi pers tersebut, yang dimaksud tentu adalah para penyelenggara multiplekser (mux). Padahal ada banyak stakeholder yang mayoritas juga pihak swasta yang akan terdampak apabila jadwal ASO ini menjadi kembali tidak jelas.
Ada lembaga penyiaran swasta (LPS) penyewa mux yang sudah membantu sosialiasi migrasi analog ke digital dengan melakukan siaran secara simulcast (analog dan digital). Banyak dari mereka juga adalah LPS televisi lokal yang meskipun memiliki keterbatasan modal, bersedia menanggung biaya tambahan untuk menyukseskan program nasional tersebut. Apabila jadwal ASO di wilayah siarnya menjadi tidak jelas, akan sulit bagi LPS-LPS tersebut untuk membuat rencana bisnis secara matang.
Iklim usaha pun menjadi tidak sehat. Kebijakan moratorium izin baru hingga ASO dijalankan menjadi kabur ujungnya apabila tenggat ASO tidak dipatuhi. Pada titik ini, kinerja Kominfo dalam menata iklim usaha serta memberikan kepastian hukum bagi sektor swasta menjadi dipertanyakan.
Yang lebih krusial lagi, semua LPS sudah diwajibkan untuk mengembalikan lisensi atas frekeunsi atau dikenal sebagai izin stasiun radio (ISR). Apabila jadwal ASO tidak dilaksanakan sepenuhnya, akan ada komplikasi hukum yang cukup pelik dalam pengaturan frekuensi di lapangan. Selain tentu saja, tidak melaksanakan ASO sepenuhnya sudah pasti berarti melanggar undang-undang. Presiden memang masih bisa saja menerbitkan Perppu yang melonggarkan kembali kebijakan ASO. Namun, apakah layak sebuah Perppu diterbitkan jika yang terjadi adalah ketidakmampuan dari sisi pelaksana undang-undang?
Editor: Eka G Putra