JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Informasi kebocoran data paspor itu masuk ke Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) pada 5 Juli lalu. Hasil dari pendataan mereka, dalam kurun 2019-2023, Kemenkominfo menemukan 98 kasus dugaan pelanggaran pelindungan data pribadi (PDP).
Tidak hanya soal kebocoran data, tetapi juga pelanggaran lainnya. Dari seluruh kasus itu, sebanyak 23 kasus sudah diberikan sanksi dan rekomendasi. ’’Artinya memang terjadi pelanggaran,’’ papar Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo (Kemenkominfo) Semuel A Pangerapan, Ahad (9/7).
Namun, Kemenkumham memastikan 34 juta data paspor yang diduga bocor bukan data terbaru tahun ini. Data yang diduga bocor juga bukan data biometrik yang meliputi data bentuk wajah dan sidik jari pemilik paspor yang terdapat pada paspor elektronik.
Direktur Jenderal Imigrasi Silmy Karim pun meminta masyarakat tidak khawatir mengenai isu kebocoran data tersebut. “Data mengenai biometrik itu aman, tidak ada yang bocor,” ujarnya saat dikonfirmasi.
Silmy menyebut pihaknya telah menggunakan ISO 27001-2022 tentang Sistem Manajemen Kemananan Informasi (SMKI) untuk mengamankan data paspor. SMKI dijamin memiliki tingkat keamanan yang kuat.
“Datanya (yang diduga bocor, Red) itu bukan data 2023. Kita pakai namanya SMKI 2. Artinya, seandainya bocor terjadinya dulu 2021 atau 2022,” ungkapnya.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo (Kemenkominfo) Semuel A Pangerapan menuturkan, upaya investigasi awal sudah dilakukan oleh Tim Investigasi PDP. Hasil sementara menunjukkan fakta adanya kemiripan data paspor antara yang dijual dengan data aslinya. ’’Berdasarkan hasil sampling memang terdapat kemiripan,’’ katanya.
Tetapi Semuel menegaskan belum dapat dipastikan apakah data paspor hasil pembobolan yang dijual itu seratus persen valid atau tidak. Dari detail yang diperiksa, data paspor yang beredar sebelum ada aturan baru. Yaitu aturan masa berlaku paspor bertambah dari lima menjadi sepuluh tahun. ’’Karena terlihat masa berlakunya masih lima tahun,’’ tuturnya.
Semuel mengatakan tim belum bisa menyimpulkan data apa, kapan, dan dari mana titik terjadinya kebocoran. Kementerian Kominfo terus berkoordinasi dengan klarifikasi dengan Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Termasuk penyebab terjadinya dugaan kebocoran tersebut, Semuel belum dapat menyimpulkannya. Karena perlu dilakukan proses klarifikasi dan pencocokan data dengan Kemenkumham selaku pengelola data. Kemenkominfo juga bekerja sama dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) untuk menangani kasus tersebut.
Dugaan kebocoran data paspor warga negara Indonesia (WNI) memantik reaksi keras berbagai pihak. Anggota Komisi I DPR RI Sukamta salah satunya. Dia menyesalkan kembali berulangnya kasus kebocoran data.
Menurutnya, itu menunjukkan pemerintah khususnya Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) tidak belajar dari kasus sebelumnya. “Seperti tidak ada pencegahan dan tindakan hukum yang bisa mencegah kejadian berulang,” ujarnya, Ahad (9/7).
Dalam kasus bocornya data Imigrasi, lanjutnya, lebih parah dan mencoreng Kominfo. Sebab server Imigrasi ada di Pusat Data Nasional (PDN) yang dikelola oleh Kominfo. “Kominfo harus bertanggung jawab dan menjelaskan ke publik mengenai kasus ini,” terang Sukamta.
Sukamta menilai aturan yang dipergunakan oleh pemerintah saat ini masih banyak celah. Di sisi lain, diakuinya UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) belum optimal karena aturan teknis belum tuntas sepenuhnya. Bahkan, sejumlah norma baru berlaku di 2024.
Oleh karenanya, legislator asal Yogyakarta itu mendesak Kominfo membuat peraturan darurat untuk menutup celah belum tuntasnya aturan teknis UU PDP.
“Selain mencegah dan sebagai dasar hukum penindakan kasus kebocoran data juga mendorong pengelola data menyiapkan sistem dan infrastruktur,” jelasnya. Sukamta mengingatkan, dalam kasus data bobol, publik menjadi pihak paling dirugikan.(far/wan/tyo/jpg)