JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kasus dugaan kebocoran data pemilih yang dikelola Komisi Pemilihan Umum (KPU) memantik keprihatinan banyak pihak, termasuk para calon presiden. Mereka meminta agar kasus tersebut ditangani cepat guna menjaga kepercayaan publik.
Calon presiden (Capres) nomor urut 3 Ganjar Pranowo mendesak KPU bergerak cepat untuk memperbaiki sistem yang ada. Sehingga tidak mudah dibobol.
“Sistemnya tidak boleh rentan dari upaya peretasan,” terangnya, Kamis (30/11). Mantan Gubernur Jawa Tengah itu mengatakan, jika sistemnya mudah diretas, maka akan muncul berbagai analisis negatif dari masyarakat. Untuk itu, KPU harus segera melakukan perbaikan, dan memberikan proteksi yang bagus bagi data pemilih.
Dia juga meminta KPU mencari orang-orang yang terbaik dan ahli dalam pengamanan sistem IT. Ganjar yakin, banyak anak bangsa yang ahli di bidang pengamanan IT. “Sistem IT harus segera diperbaiki. Pilih orang-orang terbaik untuk meyakinkan bahwa sistemnya bagus,” tegasnya. Lebih lanjut lagi, mantan anggota DPR RI itu juga meminta penegak hukum untuk bergerak cepat dalam mengusut kasus tersebut. Menurutnya, kasus peretasan data tidak boleh dibiarkan, karena itu sangat membahayakan.
Ganjar menambahkan bahwa Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud terus memantau dan mengawal kasus kebocoran data pemilih. “Kami terus memantau, tapi kami juga meminta penegak hukum ikut terlibat mengusut kasus itu,” tegasnya.
Calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan punya kekhawatiran dan harapan sama. Anies menyebut persoalan keamanan data perlu mendapat atensi serius. Dia pun meminta sistem kemanan (security system) data harus dijaga.
Selain itu, dia juga meminta integritas operator yang menjaga sistem keamanan data diperhatikan. ”Supaya keamanan data terjaga,” ujarnya. Dari kubu calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto mengingatkan, persoalan teknis yang dapat meruntuhkan kepercayaan pada pemilu harus segera dibenahi. “Supaya betul-betul clear dan pemilu hasilnya legitimate,” ujar Wakil Komandan Alpha TKN Prabowo-Gibran Herman Khaeron.
Dia khawatir, kasus-kasus sejenis dapat membuat publik sanksi pada proses pemilu. Oleh karenanya, dia berharap para instrumen negara maupun penyelenggara pemilu bisa menangani cepat.
Herman menambahkan, instrumen digital punya kerawanan terhadap kebocoran. Oleh karenanya, sistem harus dipastikan kuat. Hal ini, harus jadi evaluasi bersama untuk diperbaiki.
“Jangan saling curiga mencurigai jangan saling kemudian mengambil kesimpulan lebih awal. Kita justru mencari tahu kenapa ini terjadi? dan apa pembenahan yang harus dilakukan ke depan?,” kata politisi Demokrat itu.
Sementara Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC Pratama Persadha menjelaskan, sebenarnya terdapat perangkat keamanan siber yang mampu mendeteksi dan memberikan informasi saat terjadi serangan siber. Bahkan, mampu mencegah terjadinya serangan siber. “Seharusnya KPU memiliki perangkat semacam itu “ paparnya. Namun, seperti yang diketahui bahwa tidak ada sistem keamanan yang 100 persen bisa melindungi sistem yang dijaganya. Perkembangan serangan siber itu semakin canggih dan banyaknya perubahan malware yang beredar,” jelasnya.
Terkait kebocoran data DPT, lanjutnya, sebenarnya tidak berdampak langsung terhadap hasil pemilu. Tapi, data itu potensial digunakan untik mencederai proses pemilu. Misalnya, data digunakan untuk politik uang dan kampanye terselubung. “Data DPT itu bisa digunakan untuk banyak hal,” ujarnya.
Dia mengatakan, perlu diketahui CISSReC beberapa bulan lalu memberikan assessment terhadap keamanan sistem, server dan website dari KPU dan KPUD. Asessment setebal 500 halaman itu dapat digunakan untuk memeriksa apakah benar terdapat celah keamanan dalam sistem KPU. “Seharusnya bisa dimitigasi, karena kami berikan langkah mitigasinya. Ini bisa mengurangi celah keamanan dalam sistem,” terangnya.
Pengamat Politik sekaligus Guru Besar Riset Politik BRIN Ikrar Nusa Bhakti membeberkan bahaya kebocoran data pemilih. Salah satunya terdapat potensi terjadi duplikasi data pemilih yang merugikan integritas pemilu dan mengancam keabsahan hasilnya. Dia khawatir kerentanan DPT akan berpotensi terjadinya pemungutan suara di TPS, yang bukan sesuai KTP pemilih. “Nah, dikhawatirkan DPT tersebut juga digunakan di TPS sesuai alamat tempat tinggal kita yang tertera di KTP” ujar Ikrar.
Ikrar sudah menduga, hal semacam itu dapat terjadi sejak KTP berubah menjadi KTP elektronik karena lisensi microchip e-KTP dimiliki pihak swasta. Tidak hanya pada saat pemilu, karena data base itu untuk berbagai macam kepentingan, misalnya dalam hal perbankan.
Keamanan data pemilih menjadi isu krusial dalam konteks pemilu. Serangan siber terhadap lembaga pemilihan, seperti KPU juga bisa memiliki dampak serius terhadap integritas demokrasi.
Ikrar mempertanyakan langkah-langkah KPU, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Negara (BIN), serta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) guna melindungi data pemilih dari serangan siber yang terus berulang dan mitigasi potensi penyalahgunaan data dalam pemilu mendatang.
Terkait peran BSSN, Ikrar menjelaskan bahwa payung hukum yang menaungi BSSN perlu diubah menjadi undang-undang, mengingat sekarang ini BSSN masih bernaung di bawah payung hukum Peraturan Presiden Nomor 53 tahun 2017. “Payung hukum BSSN ini lho, seolah-olah membuat BSSN ragu dalam bertindak, coba Anda tanya orang BSSN jawabannya pasti sama” kata Ikrar.
Sementara itu, Komisioner KPU RI Betty Epsilon Idroos mengatakan, KPU masih menunggu hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh gugus tugas pengamanan siber. Sehingga dapat diketahui apakah klaim peretasan benar atau tidak.
“KPU memberikan akses seluas-luasnya kepada tim tanggap insiden untuk bersama-sama melindungi dan mencegah terjadinya penyebaran data pemilih,” ujarnya.
Dari sisi internal, pihaknya sudah melakukan sejumlah pengecekan dan analisis. “Seperti analisis log akses, analisis manajemen pengguna, dan analisis log lainnya yang diambil dari aplikasi maupun server,” ujarnya. Sebagai antisipasi, KPU juga menonaktifkan akun-akun pengguna Sidalih sebagai upaya penanganan peretasan tersebut lebih lanjut.
Komisioner KPU RI Idham Holik menambahkan, dugaan kasus kebocoran dipastikan tidak mengganggu akses pelayanan publik pada situs cekdptonline. Publik masih bisa mengecek status sebagai pemilih dan lokasi TPS-nya. “Cek DPT online masih nerfungsi dengan baik,” tegasnya.
Sementara itu, Menkominfo Budi Arie Setiadi menyampaikan analisanya terkait soal dugaan kebocoran data KPU. “Itu motif ekonomi,” katanya usai kegiatan Anugerah Jurnalistik Kominfo (AJK) 2023 di Jakarta tadi malam (30/11).
Sebelumnya dia menyampaikan bahwa dugaan pembobolan data itu tidak terkait dengan motif politik. Dengan adanya motif ekonomi tersebut, publik tidak perlu resah dahulu. Apalagi sampai mengaitkan dengan kecurangan Pemilu 2024. Dia juga mengatakan, kasus itu juga jangan sampai jadi alat untuk mendiskreditkan KPU. Selaku penyelenggara pemilu atas dugaan kebocoran data yang terjadi. “Sudah jangan kita salah-menyalahkan,” tegasnya.
Meski begitu, Budi mengatakan kasus tersebut bisa menjadi peringatan bagi KPU untuk lebih berhati-hati dalam menjamin keamanan data pemilih. Dirjen Aptika Kementerian Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan menambahkan, pihaknya tengah mengumpulkan data dan informasi untuk menangani dugaan kebocoran data di KPU itu.
“Hari Selasa, 28 November 2023, Kominfo telah mengirimkan surat permintaan klarifikasi kepada KPU,” katanya. Kemudian secara bersamaan, Kementerian Kominfo juga melakukan pengumpulan data dan informasi yang diperlukan untuk mendukung upaya penanganan dugaan kebocoran data itu. (far/lum/tyo/idr/wan/das)
Laporan JPG, Jakarta