JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Terdakwa perkara obstruction of justice Arif Rachman Arifin menyampaikan eksepsi atas dakwaan yang disampaikan jaksa penuntut umum (JPU). Ia pun meminta dibebaskan dari segala dakwaan. Sebab, semua tindakannya dilakukan untuk menuruti Ferdy Sambo.
Dalam dakwaan yang disampaikan JPU, Arif berperan mematahkan laptop milik terdakwa Baiquni Wibowo menjadi beberapa bagian. Alhasil, laptop yang sempat digunakan untuk mengopi dan menyimpan rekaman closed circuit television (CCTV) di kompleks Polri Duren Tiga itu tidak lagi berfungsi.
Tindakan tersebut dilakukan Arif meski dirinya mendapati ada kejanggalan dalam rekaman CCTV itu. Yakni, Yosua masih hidup saat Sambo tiba di rumah dinas mantan kepala Divisi Propam Polri tersebut. Fakta itu berbeda dengan keterangan Sambo dalam narasi baku tembak antara Yosua dengan Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu. Eks jenderal bintang dua Polri itu menyatakan, ketika dirinya tiba, Yosua sudah tewas tertembak.
Setelah mendapati temuan CCTV itu, Arif bersama Hendra Kurniawan lantas melapor kepada Sambo. Namun, yang bersangkutan mengelak. Bahkan hingga meneteskan air mata.
Junaedi Saibih sebagai penasihat hukum Arif menyampaikan bahwa kliennya saat itu berada dalam posisi sulit. ’’Bahwa terdakwa Arif Rachman Arifin merasa di bawah tekanan,’’ ujarnya. Dalam eksepsinya, kliennya juga tidak langsung menghilangkan laptop yang sudah rusak tersebut. ’’Karena masih ragu terhadap perintah saksi Ferdy Sambo,’’ tambahnya.
Karena itu, lanjut Junaedi, dakwaan JPU yang menyebut kliennya mematahkan laptop untuk menghalang-halangi penyidikan atau obstruction of justice adalah asumsi. Menurut dia, JPU tidak cermat menguraikan peristiwa, Termasuk dalam menjerat kliennya dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dia meminta majelis hakim membebaskan Arif dari dakwaan JPU dan tahanan. Dia juga berharap besar majelis hakim memutus perkara tersebut dengan seadil-adilnya. Atas eksepsi itu, majelis hakim memutuskan melanjutkan sidang dengan terdakwa Arif Selasa pekan depan. Yakni, pada 1 November 2022.
Sebelumnya, Kamis (27/10), Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menyelenggarakan sidang untuk kasus obstruction of justice yang merupakan rangkaian kasus Sambo. Dua terdakwa dihadirkan dalam sidang tersebut. Yaitu, Brigjen Hendra Kurniawan dan Kombespol Agus Nurpatria.
Terdapat tujuh saksi yang dihadirkan. Di antaranya, dua petugas satpam Kompleks Duren Tiga Abdul Zapar dan Marjuki. Lalu, empat anggota Polri, yakni Aditya Cahya, Tomser Kristianata, Munafri Bahtiar, dan Ari Cahya Nugraha. Serta seorang buruh harian lepas bernama Supriyadi.
Dalam sidang yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB itu, ada sejumlah kejadian yang menonjol. Khususnya terkait dengan upaya membuktikan terjadinya perusakan barang bukti berupa rekaman CCTV. Misalnya, saat AKBP Aditya Cahya menjadi saksi.
Dia menceritakan di depan majelis hakim bahwa dirinya mendatangi rumah dinas Sambo di Duren Tiga sejak hari kejadian Jumat (8/7). Aditya datang karena dipanggil Ferdy Sambo melalui sambungan telepon. "Saat itu saya melihat Pak Sambo. Wajahnya menunjukkan kemarahan. Dia sedang merokok di teras rumah," katanya.
Lantas, Sambo mengajaknya masuk dan melihat sudah ada seseorang yang tergeletak di dekat tangga. Yang kemudian disebutkan Sambo sebagai Brigadir Yosua. "Pak Sambo menyebut Yosua ini melakukan pelecehan ke Ibu Putri. Lalu, terjadi tembak-menembak dengan Richard," jelasnya.
Yang menarik, jaksa memperdalam keterangan Aditya terkait dengan CCTV di dalam rumah dinas yang mengarah ke tangga. CCTV tersebut potensial merekam kejadian di dalam rumah. "Saya sempat mendengar dari Pak Sambo bahwa CCTV di dalam rumah itu tidak berfungsi atau mati," ujarnya.
Dia mengaku tidak tahu alasan dipanggil Sambo ke rumah dinas tersebut. Setelah itu, sama sekali tidak ada perintah Sambo terhadapnya. "Hanya, saat Ahad, saya ditelepon Pak Hendra Kurniawan untuk meminta orang datang ke Duren Tiga. Tapi, saya sedang berada di Bali. Saya arahkan anggota AKP Irfan Widyanto untuk ke Duren Tiga," terangnya.
Namun, Aditya mengaku tidak tahu perintah yang diberikan terhadap Irfan Widyanto. Menurut dia, belakangan barulah Irfan melaporkan diminta mengganti DVR CCTV di pos sekuriti Duren Tiga. "Saya merespons dengan waduh. Lalu, disebutkan Irfan bahwa DVR diberikan ke Pak Chuck dan diserahkan ke penyidik Polres Metro Jaksel," jelasnya.
Hakim lantas meminta pendapat dari terdakwa Brigjen Hendra Kurniawan mengenai ada tidaknya keberatan dalam keterangan saksi tersebut. Bukannya menjawab keberatan atau tidak, Hendra malah curhat bahwa dirinya tidak mengetahui siapa yang mengambil DVR dan mengopinya. Semua dilakukan hanya karena diperintahkan Sambo. "Itu prinsipnya," katanya.(syn/c17/bay/jpg)