Relasi Kuasa Pengaruhi Keputusan Bhadara E

Nasional | Selasa, 27 Desember 2022 - 10:38 WIB

Relasi Kuasa Pengaruhi Keputusan Bhadara E
Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara Profesor Franz Magnis Suseno saat menghadiri sidang lanjutan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Y di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (26/12/2022). (MIFTAHUL HAYAT/JPG)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Romo Franz Magnis Suseno menjadi salah satu dari tiga orang saksi ahli yang hadir dalam sidang lanjutan perkara pembunuhan berencana Brigadir Polisi Yosua Hutabarat (Brigadir Y) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Senin (26/12).

Selain Romo Magnis, Tim Penasihat Hukum Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E) juga menghadirkan dua saksi ahli lainnya sebagai saksi yang meringankan. Melalui kesempatan itu, Romo Magnis menjelaskan adanya relasi kuasa saat peristiwa itu terjadi.


Oleh Tim Penasihat Hukum Bharada E, Romo Magnis dihadirkan untuk berbicara dalam kapasitasnya sebagai guru besar filsafat moral. Menurut Romo Magnis, peristiwa penembakan Yosua tidak lepas dari relasi kuasa antara Ferdy Sambo dengan Bharada E. Sebab, ketika peristiwa itu terjadi, Sambo masih jenderal bintang dua. Di kepolisian, Romo Magnis menjelaskan, relasi kuasa sangat kental dan jelas. ”Siapa yang memberi perintah, siapa yang harus menaati,” ungkap dia.

Karena itu, Romo Magnis menilai bahwa hal yang paling meringankan bagi Bharada E adalah perbedaan kedudukan. Sambo sebagai pimpinan Divisi Propam Polri. Bharada E selaku anak buah Sambo. Perbedaan pangkat keduanya juga sangat jauh. Sehingga mau tidak mau Bharada E menuruti perintah Sambo. ”Budaya laksanakan itu adalah unsur yang paling kuat (mendorong Bharada E menuruti perintah Sambo),” kata dia di muka sidang.

Dalam sidang  kemarin, Romo Magnis mencoba menggambarkan situasi batin Bharada E. Menurut dia, saat itu Bharada E dilema menghadapi perintah dari Sambo. Di satu sisi, dia sadar menembak Yosua adalah perbuatan terlarang. Namun di sisi lainnya, ada perintah dari atasan. Sementara waktu yang tersedia untuk mengambil tidak banyak. ”Saat itu dia (Bharada E) harus menentukan laksanakan atau tidak,” ujarnya.

Situasi itu dinilai oleh Romo Magnis berpengaruh terhadap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Bharada E. Sebab, kebanyakan orang akan meminta waktu sebelum mengambil keputusan besar. Sementara di rumah dinas kepala Divisi Propam Polri, Duren Tiga, Bharada E harus mengambil keputusan dengan cepat dalam tekanan kuat. ”Dia harus langsung bereaksi,”  ujarnya. Dua hal itu, lanjut Romo Magnis, mestinya bisa meringankan Bharada E dari ancaman hukuman.

Selain Romo Magnis, dua saksi ahli lain yang hadir dalam persidangan kemarin adalah psikolog klinik dewasa Liza Marielly Djaprie dan psikolog forensik Reza Indragiri Amriel. Serupa dengan Romo Magnis, Reza Indragiri turut menyinggung soal relasi kuasa dalam peristiwa pembunuhan Yosua. Dia menyebutnya dengan istilah superior order defend. ”Di mana seseorang melakukan pembelaan diri dengan mengklaim bahwa yang saya lakukan ini adalah perintah superior,” ujarnya.

Reza menyatakan, dalam konteks Bharada E, hal itu harus diuji lewat tiga tahapan. Pertama, pastikan tekanan terhadap yang bersangkutan ada atau tidak. Kedua, pastikan ada atau tidak kesempatan Bharada E untuk lari dari tekanan itu. Ketiga, pastikan konsekuensi atau risiko Bharada E bila menentang tekanan tersebut.

”Kalau risiko atau konsekuensi itu buruk, bahkan bisa bersifat fatal bagi hidupnya, maka sah sudah superior order defense atau relasi kuasa tampak terang benderang menjelaskan peristiwa itu,” bebernya.

Di hadapan majelis hakim, Reza juga menjelaskan sudut pandang berdasar penelitian Stanley Milgram. Menurut penelitian itu, seseorang bisa dengan sangat mudah melaksanakan perintah yang salah atau perintah jahat. Kemudian, perintah jahat atau tekanan tidak melulu muncul dalam bentuk lisan. Otoritas pemberi perintah secara tidak langsung berpengaruh terhadap penerima perintah. ”Kalau pihak pemberi perintah itu memiliki otoritas maka kepatuhan orang yang menerima perintah akan semakin tinggi,” ungkap dia.

Lebih lanjut, Reza menyatakan, menurut Milgram pakaian atau kostum yang digunakan pemberi perintah pun bisa berdampak pada penerima perintah. ”Kalau kostum yang dipakai (pemberi perintah) menunjukkan otoritas tertentu, maka kemampuan dia untuk memaksa atau memberikan tekanan kepada penerima perintah juga akan semakin tinggi,” jelasnya.

Selain itu, lokasi perintah diberikan. Menurut Reza, legitimasi perintah semakin besar ketika perintah disampaikan di tempat seperti rumah atau kantor. Berikutnya, keberadaan pemberi perintah dan penerima perintah ketika perintah muncul.

Dalam hal ini, Reza menekankan posisi Sambo dan Bharada E saat penembakan terjadi. ”Kalau mereka berada di satu ruangan, maka sesuai penelitian (Milgram) kemungkinan Richard Eliezer untuk patuh terhadap perintah semakin tinggi,” tegasnya.

Keterangan itu sekaligus menjawab penjelasan pihak Sambo yang menyatakan bahwa tidak ada perintah tembak, yang ada perintah hajar. Reza menekankan, perintah tidak melulu muncul dalam bentuk lisan.(syn/jpg)

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook