JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan saran ke Mahkamah Agung (MA) usai operasi tangkap tangan terhadap Hakim Agung Sudrajad Dimyati. Untuk memutus rantai suap di lembaga kehakiman, rotasi dan mutasi rutin diperlukan. Sedangkan Menkopolhukam Mahfud MD menyarankan sanksi yang jauh lebih tegas yakni hukuman mati untuk hakim yang terlibat korupsi.
Hal itu merujuk kepada Hakim Agung Sudrajad yang tersangka penyuapan perkara Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana. "Saya kira sekali-kali hukuman mati dijatuhkan ke hakim," ujarnya dalam sebuah acara televisi. Hal itu dikarenakan koperasi merupakan milik orang-orang kecil. Namun, malah dimafiakan atau dikorupsi. "Setuju hukuman mati," tuturnya.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Alex Mawarta mengatakan minta segera memutuskan mata rantai suap penanganan perkara di MA. Salah satu cara terbaik adalah dengan memutasi para pegawai. "Mutasi dan rotasi harus rutin ke pegawai. Bisa setiap dua tahun atau tiga tahun," jelasnya dalam keterangan tertulisnya, Ahad (25/9).
Rotasi pegawai itu akan memutus jaringan dari para pegawai. Bukan hanya hakim yang dimutasi, namun sampai ke panitera juga. "Kalau tidak dimutasi, jaringan pegawai akan semakin kuat. Membuka pintu kongkalikong antarpegawai MA dan pihak luar," jelasnya.
Karena pegawai sudah begitu lama bekerja di satu pengadilan maka sudah mengenal modus-modusnya. Mengenali pengacara dan lain sebagainya. "Saya bayangkan pegawai-pegawai itu sudah lama di MA," tuturnya.
Pada umumnya, para pengacara berupaya mengatur perkara melalui panitera. Dari beberapa kasus yang ditangani KPK, kedekatan pengacara dengan panitera ini menjadi problem. "Dari kasus yang di KPK, pengacara lewat panitera," urainya.
Sementara Juru Bicara KPK Ali Fikri menegaskan KPK berpeluang untuk memeriksa Ketua MA HM Syafruddin dan hakim agung lainnya. Bila memang terkait dengan terkait dengan penyuapan Hakim Agung Sudrajad. "Siapapun akan diperiksa," jelasnya.
Namun, dengan catatan bahwa orang tersebut diduga mengetahui perbuatan dari para tersangka korupsi. "Dipanggil sebagai saksi," paparnya, Ahad (25/9).
Ali mengatakan, pemeriksaan saksi merupakan bagian dari kebutuhan penyidikan. Menurut Ali, ketika seorang dipanggil sebagai saksi, maka pihak tersebut disinyalir dapat mengungkap suatu perkara menjadi lebih terang. "Penyidik memanggil saksi karena ada keperluan agar lebih jelas dan terang perbuatan para tersangka," tegas Ali.
Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati ternyata sempat menemui Ketua Syarifuddin pada Jumat (23/9) pagi, sebelum menyerahkan diri ke KPK. Dia menemui Syarifuddin untuk menjelaskan kasus yang menyeretnya menjadi tersangka KPK.
Dimyati, kata Zahrul, bertemu Syarifuddin untuk menyampaikan bahwa dirinya dipanggil oleh KPK. Dalam pertemuan itu, Ketua MA menanyakan perkara yang membuat Sudrajad menjadi tersangka.
Syarifuddin juga menanyakan siapa saja yang terlibat dalam perkara itu. Zahrul menegaskan, pertemuan tersebut wajar. Sebab, sebagai hakim agung, Sudrajad ingin melaporkan sesuatu kepada atasannya, yakni Ketua MA. "Dia cuma sowan," tegasnya.
KPK sebelumnya telah menetapkan Hakim Agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA. Diduga, Sudrajad menerima suap senilai Rp800 juta melalui hakim yustisial atau panitera pengganti MA, Elly Tri Pangestu.
Selain Sudrajad, KPK juga turut menetapkan Elly Tri Pangestu dan delapan orang lainnya sebagai tersangka. Delapan orang itu di adalah Desy Yustria (DY) selaku PNS pada Kepaniteraan MA, Muhajir Habibie (MH) selaku PNS pada Kepaniteraan MA, PNS MA Redi (RD) dan PNS MA Albasri (AB). Kemudian, Yosep Parera (YP) selaku pengacara, Eko Suparno (ES) selaku pengacara, serta dua Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana, Heryanto Tanaka (HT) dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS).
Perkara ini terkait dugaan suap pengurusan perkara perdata berupa kasasi di MA atas putusan pailit Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Permohonan kasasi itu bermula dari pada proses persidangan di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, Heryanto dan Eko belum puas dengan keputusan pada dua lingkup pengadilan tersebut sehingga melanjutkan upaya hukum kasasi pada MA.
Pada 2022, dilakukan pengajuan kasasi oleh Heryanto dan Ivan Dwi dengan masih memercayakan Yosep dan Eko sebagai kuasa hukum. Pegawai MA yang bersedia dan bersepakat dengan Yosep dan Eko yaitu Desy Yustria dengan pemberian sejumlah uang.
Desy selanjutnya turut mengajak PNS pada Kepaniteraan MA Muhajir Habibie dan Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu untuk ikut serta menjadi penghubung penyerahan uang ke majelis hakim.
Desy dkk diduga sebagai representasi Sudrajad dan beberapa pihak di MA untuk menerima uang dari pihak-pihak yang mengurus perkara di MA. Jumlah uang yang diserahkan secara tunai oleh Yosep dan Eko kepada Desy sebesar 202.000 dolar Singapura atau senilai Rp2,2 miliar.
Kemudian oleh Desy Yustria membagi lagi, dengan pembagian, Desy menerima sekitar Rp250 juta, Muhajir Habibie menerima sekitar Rp850 juta, Elly Tri Pangestu menerima sekitar Rp100 juta dan Sudrajad menerima sekitar Rp800 juta yang penerimaannya melalui Elly Tri.
Dengan penyerahan uang tersebut, putusan yang diharapkan Yosep dan Eko pastinya dikabulkan dengan menguatkan putusan kasasi yang sebelumnya menyatakan koperasi simpan pinjam Intidana pailit.
Sebagai pemberi suap, Heryanto, Yosep, Eko, dan Ivan Dwi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 huruf a Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sedangkan Sudrajad, Desy, Elly, Muhajir, Redi, dan Albasri sebagai penerima suap disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara itu, Komisi III DPR RI ikuti menyoroti penetapan tersangka Hakim Agung MA Sudrajad Dimyati oleh KPK terkait dugaan suap pengurusan perkara di MA.
"Kalau hakim agung tersangka KPK, maka ini artinya gempa besar di Mahkamah Agung. Sebab hakim itu adalah wakil Tuhan di muka bumi ini," kata anggota Komisi III M Nasir Djamil.
Menurutnya, penetapan tersangka Sudrajad yang dilakukan melalui operasi tangkap tangan itu sudah sangat membahayakan eksistensi lembaga pengadil. Kasus tersebut betul-bentul mencoreng citra MA.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menyatakan, dugaan kasus suap yang dilakukan Sudrajad menunjukkan bahwa uang masih menjadi alat tukar ketukan palu hakim.
"Kalau di level Hakim Agung begitu, maka bagaimana potret transaksional putusan pengadilan di bawahnya,?" kata Nasir.
Legislator asal Dapil Aceh itu mendesak badan pengawas Mahkamah Agung untuk bekerja ekstra melakukan pengawasan. Mereka harus mampu mendisiplinkan para hakim agung dan hakim yang ada di bawahnya.
Nasir menegaskan bahwa pembusukan di lembaga peradilan bisa dihindari jika pengawasan melekat pimpinan dan jajarannya berjalan efektif dan subtantif.
Menurutnya, MA harus bekerja keras melakukan pembenahan internal agar tidak ada lagi transaksional putusan pengadilan.
"Praktik suap menyuap harus diberantas," tegasnya.(idr/lum/das)
Laporan: JPG, Jakarta