JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Puncak El Nino diprediksi baru terjadi pada Agustus hingga awal September 2023. Dalam waktu tersebut, musim kemarau akan jauh lebih kering dibandingkan tahun 2020, 2021, dan 2022. Meski belum memasuki puncak kemarau, saat ini titik panas (hotspot) maupun kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sudah mengalami peningkatan.
“Pasca kita mengalami periode hujan di kemarau sekitar dua pekan lalu, saat ini tepatnya sejak sepekan terakhir telah mulai signifikansi terjadi karhutla. Dan ini dominannya terjadi di Pulau Jawa,” ungkap Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari, Senin (24/7).
Sementara itu, untuk di Riau Kepala Bidang Kedaruratan BPBD Riau Jim Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari, Senin (24/7).
Sementara itu, untuk di Riau Kepala Bidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau Jim Gafur mengatakan, karhutla masih dapat dikendalikan karena curah hujan juga masih ada. Kemudian jika terjadi karhutla juga cepat dipadamkan sehingga tidak meluas.
“Pekan ini ada Karhutla di Kampar, tapi bisa langsung dipadamkan. Kemudian ada juga di Rokan Hilir. Di lokasi ini pemadaman masih berlangsung baik melalui darat dan udara,” ujarnya kepada Riau Pos, Senin (24/7).
Terkait prediksi puncak El Nino tersebut, Jim Gafur mengatakan Pemprov Riau dan intansi terkait sudah melakukan pencegahan sejak awal. “Untuk mengantisipasi El Nino yang dapat menyebabkan karhutla, kita sudah menyiapkan antisipasi. Helikopter water bombing juga sudah disiapkan di Riau untuk memadamkan karhutla dari udara,” ujarnya.
Di tempat terpisah, Direktur Pengendalian Karhutla KLHK Thomas mengungkapkan, berdasar pengamatan dari citra satelit di sepuluh provinsi rawan karhutla, sejak 1 Januari hingga 24 Juli 2023 memang terjadi peningkatan hotspot dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Di mana, jumlah hotspot pada periode 1 Januari-24 Juli 2023 sebanyak 801, sedangkan pada periode yang sama tahun 2022 berjumlah 533. “Khusus pada Juli ini memang juga terjadi peningkatan. Dan ini sudah diprediksi BMKG, kalau pada awal Semester II ini kecenderungannya akan terjadi El Nino, yang mana dampak El Nino ini akan lebih kering dari biasanya. Jadi, faktor penyebab peningkatan juga ada karena itu, pengaruh cuaca panas,” jelasnya.
Namun, meski begitu, Thomas menegaskan bahwa setiap hotspot yang terdeteksi belum tentu sebagai karhutla. Karena itu, setiap hotspot yang terdeteksi oleh satelit perlu dilakukan verifikasi. Sebab, bisa jadi hotspot yang terdeteksi tersebut bukan dari karhutla, melainkan bisa dari cerobong asap industri atau kawah gunung berapi, atau juga ada panas seperti di tempat pertambangan batubara.
“Nah, kalau dari hasil verifikasi memang ditemukan sebagai karhutla, maka akan segera ditangani oleh petugas di lapangan. Bisa oleh Manggala Agni yang tersebar di 32 daerah operasi. Untuk penanganan, tidak hanya dilakukan Manggala Agni, melainkan juga ada satgas yang telah dibentuk oleh setiap kepala daerah,” ujarnya.
Sedangkan untuk luas lahan karhutla, dikatakan Thomas, selama Januari hingga Juli 2023 ini cenderung menurun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Di mana, hingga saat ini luas karhutla 50.670 hektare atau secara kumulatif terdapat penurunan seluas 8.571 ha dari periode yang sama pada 2022. “Dan yang pasti untuk luas lahan karhutla yang paling banyak itu terjadi di NTT dan NTB,” terangnya.
Menurut Thomas, adapun penyebab luas lahan karhutla paling banyak terjadi di NTT dan NTB karena di kedua wilayah provinsi tersebut banyak vegetasinya savana, padang rumput. Di mama, lahan tersebut memang mudah terbakar tetapi juga cepat tumbuh kembali. “Dan karhutla ini kebanyakan memang masih terjadi di lahan ketimbang di hutan. Dampaknya juga tidak terlalu berdampak, beda kalau di hutan atau gambut,” ujarnya.
Sementara itu, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mukhammad Faisol Amir menilai, respon pemerintah terhadap El Nino masih reaktif. Hanya berfokus kepada pencegahan jangka pendek.
Menurutnya, penguatan stok pangan melalui cadangan pangan pemerintah (CPP), khususnya cadangan beras pemerintah (CBP) sebagai pangan utama, merupakan solusi yang layaknya dilakukan setiap tahunnya. Namun, solusi tersebut tidaklah menyasar ke permasalahan utama pangan Indonesia dalam menghadapi El Nino. “Beberapa permasalahan fundamental agrikultur Indonesia dalam menghadapi El Nino setiap tahunnya adalah kurang siapnya infrastruktur irigasi serta tidak meratanya kesiapan petani dalam menghadapi El Nino,” tuturnya.
Memang, secara garis besar, beberapa petani telah memahami siklus tahunan El Nino dan mengantisipasinya dengan cara adaptasi waktu tanam. Termasuk, penanaman palawija untuk pencegahan puso akibat hama. Akan tetapi, solusi tersebut dinilai hanya dapat mencegah dampak kekeringan yang diakibatkan oleh El Nino.(gih/mia/jpg)