PROGRAM BARU, MANFAAT JKP LEBIH BESAR DIBANDING JHT

Desak Permenaker soal JHT Ditinjau Ulang

Nasional | Selasa, 15 Februari 2022 - 10:34 WIB

Desak Permenaker soal JHT Ditinjau Ulang
KETUA DPR RI Puan Maharani (INTERNET)

Terkait dengan JKP, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, JKP berbeda dengan JHT. JHT merupakan jaminan bagi pekerja dan buruh dalam jangka panjang. Sementara JKP adalah perlindungan pekerja jangka pendek yang diberikan kepada pekerja dan buruh.

Dia menjelaskan, JHT dirancang sebagai program jangka panjang untuk memberikan kepastian tersedianya jumlah dana bagi pekerja ketika yang bersangkutan tidak produktif lagi akibat usia pensiun atau cacat total tetap atau meninggal dunia.


Ada beberapa manfaat program JHT. Di antaranya yakni akumulasi iuran dari pengembangan dan manfaat lain yang dapat dicairkan sebelum masa pensiun dengan persyaratan tertentu. Kemudian, telah mengikuti kepesertaan minimal 10 tahun, serta nilai yang dapat diklaim maksimal 30 persen dari jumlah JHT untuk keperluan kredit perumahan, atau maksimal 10 persen di luar kebutuhan perumahan.  "Dengan adanya Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tersebut akumulasi iuran dan manfaat akan diterima lebih besar jika peserta mencapai usia pensiun, yaitu di usia 56 tahun," jelas Airlangga.

Meski begitu, pemerintah disebutnya tidak mengabaikan perlindungan apabila pekerja atau buruh mengalami PHK sebelum usia 56 tahun. Pemerintah memberikan perlindungan berupa JKP, uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.

Dia menjelaskan, JKP adalah jaminan sosial baru yang ada dalam UU Ciptaker. "(Fungsinya) yakni melindungi pekerja dan buruh yang terkena PHK agar dapat mempertahankan derajat hidup sebelum masuk kembali ke pasar kerja," tambah Ketum Partai Golkar itu.

JKP efektif berlaku mulai 1 Februari 2022 dan merupakan perlindungan jangka pendek. Sebab, peserta langsung mendapatkan manfaat seketika saat berhenti bekerja.

Airlangga menegaskan, penambahan JKP tidak mengurangi manfaat program jaminan sosial yang ada. "Iuran program JKP juga tidak membebani pekerja dan pemberi kerja. Karena besaran iuran sebesar 0,46 persen dari upah berasal dari pemerintah pusat," jelas dia.

Nantinya, pekerja atau buruh yang mengalami PHK berhak memperoleh manfaat JKP. Di antaranya yakni uang tunai sebesar 45 persen dari upah pada bulan pertama sampai dengan ketiga, dan 25 persen dari upah di bulan keempat sampai dengan keenam.

Dia pun memberikan contoh besaran uang yang diterima pekerja apabila terkena PHK. Dia mencontohkan apabila gaji pekerja sebesar Rp5 juta.  "Sebagai contoh kalau dapat PHK di tahun kedua dengan gaji sebesar misalnya Rp5 juta. Maka akan diberikan 45 persen dari Rp5 juta, yaitu Rp2,25 juta. Kemudian dikali 3 bulan berarti Rp6,75 juta. Sedangkan bulan keempat sampai keenam sebesar 25 persen dari gaji, yaitu Rp1,25 juta, lalu dikali 3 adalah Rp3,75 juta. Jadi pekerja dapat Rp10,5 juta," urainya.

Dia juga membandingkan manfaat dari JKP dengan aturan yang lama. Apabila dikalkulasi, para pekerja akan mendapatkan manfaat yang lebih besar melalui program JKP. "Sedangkan di aturan yang lama dengan JHT, itu mendapatkan 5,7 persen dari Rp5 juta, yaitu Rp285 ribu dikali 24 bulan jadi Rp6,84 juta. Ditambahkan 5 persen dari pengembangan 2 tahun sebesar Rp350 ribu, sehingga mendapatkan total Rp7,19 juta. Jadi program ini (JKP) lebih efektif memberikan Rp10,5 juta dibandingkan Rp7,19 juta," jelas Airlangga.

Selain itu, lanjut Airlangga, akses informasi pasar kerja dan bimbingan akan tetap diberikan. Sehingga pekerja bisa kembali masuk ke dunia kerja.

Sementara, untuk pekerja sektor informal, pemerintah juga akan memberikan perlindungan sosial melalui program Kartu Prakerja. "Ini diberikan untuk kewirausahaan dan juga bisa diberikan kepada pelaku UMKM yang terdampak Covid-19," ujarnya.

Total dana yang diberikan dari Kartu Prakerja adalah Rp3,55 juta. Dana tersebut mencakup dana pelatihan sebesar Rp1 juta, insentif Rp2,4 juta dan biaya survei Rp150 ribu.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) periode 2014-2019 Zaenal Abidin turut mengomentari polemik skema baru pencairan JHT yang dikelola BPJAMSOSTEK. "Sebaiknya dikembalikan saja ke filosofi dibuatkan program JHT menurut UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional. Biar tidak ramai berkepanjangan.

Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) itu membenarkan bahwa filosofi adanya JHT adalah untuk memberikan jaminan finansial tenaga kerja di masa tuanya. Zaenal mengatakan menurut UU SJSN program JHT diatur di dalam empat pasal. Yaitu pasal 35 sampai 38. Menurut Zaenal yang menjadi wilayah polemik saat ini ada di pasal 37 ayat 1.

Di dalam pasal itu dinyatakan bahwa manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total. Menurut Zaenal UU tersebut membatasi syarat JHT bisa diambil. "Yaitu pensiun, meninggal dunia, atau cacat tetap," katanya. Dia menegaskan ketentuan di UU SJSN tersebut sudah jelas. Sehingga sebaiknya semua pihak legawa mengembalikan regulasinya ke UU SJSN.

Apalagi saat ini sudah ada program JKP. Yaitu pemberian uang tunai dengan jumlah tertentu kepada pekerja yang kehilangan pekerjaan. JKP ini dicairkan selama enam bulan dengan persentase tertentu merujuk gaji terakhir yang dilaporkan.

Desakan untuk mencabut Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 ini juga disampaikan oleh Deputy President Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Obon Tabroni. Ia mengatakan, aturan tersebut tidak tepat dan cenderung merugikan buruh. Mengingat, pada saar ini sistem hubungan kerja cenderung fleksibel. Mudah rekrut dan mudah pecat, menggunakan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Sehingga sangat sulit bagi buruh bisa bekerja hingga usia 56 tahun. "Ketika sudah memasuki usia di atas 25 tahun. Sudah sulit (cari pekerjaan baru, red). Masak iya buruh harus menunggu selama 30 tahun untuk mengambil JHT-nya," keluhnya.(sol/wir/mng/mia/lyn/wan/jpg)

Laporan: JPG (Jakarta)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook