Dengan sisa masa jabatan 10 hari, DPR terus mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang berdampak pada khalayak. Termasuk RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang rencananya disahkan pekan depan. Seperti halnya revisi UU KPK, gelombang protes publik juga mengiringi pembahasan RUU KUHP.
(RIAUPOS.CO) -- Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengakui, pembahasan RUU KUHP sangat kompleks. Tim telah membahas dua ribu daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam RUU tersebut. Diselaraskan dengan pandangan panitia kerja (panja) DPR. Panja yang membahas secara khusus RUU KUHP dibentuk sejak 2015.
”Ini adalah pekerjaan yang melelahkan, tetapi monumental,” kata Yasonna setelah rapat kerja dengan Komisi III DPR.
Bagaimana dengan keberadaan pasal-pasal karet? Menteri dari PDIP itu mengaku telah menyisir pasal demi pasal. Pasal-pasal yang dinilai rentan menimbulkan persoalan dan multitafsir diperbaiki. Bahkan ada yang dibatalkan.
Jika masih ada masyarakat yang tidak puas dengan RUU KUHP, ada kesempatan untuk menempuh upaya hukum melalui proses judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). ”Silakan saja. Kami merasa sudah optimal,” ujarnya.
Pemerintah dan DPR sepakat mengesahkan RUU KUHP pada rapat paripurna DPR Selasa mendatang (24/9). Meski demikian, regulasi itu tidak serta-merta diberlakukan. Pihaknya akan intensif melakukan sosialisasi selama dua tahun. Tim sosialisasi akan dipilih melalui pelatihan.
Di bagian lain, kelompok masyarakat sipil meminta RUU tersebut tidak disahkan dalam waktu dekat. Sebab, RUU KUHP memerlukan pembahasan lebih dalam. Terutama terkait dengan sejumlah pasal krusial. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) meminta pembahasan melibatkan publik. ”Jangan eksklusif dong. Libatkan masyarakat dalam pembahasan,” kata peneliti ICJR Genovena Alicia.
Menurut dia, RUU tersebut masih menyimpan sejumlah poin yang bisa menimbulkan celah untuk mengkriminalisasi orang. ”RUU ini terkesan obral ancaman pidana. Gampang sekali memidanakan orang,” paparnya.
Meski pasal 418 dihapus, delik berbau asusila cukup banyak diatur dalam RUU KUHP. Yaitu, pasal 414, 415, 417, 419, dan 421. Pasal 419, misalnya. Norma yang terdiri atas tiga pasal tersebut terkait dengan pasal perzinaan. Ada pula potensi kriminalisasi terhadap perempuan yang menggugurkan kandungan. Hal itu disinggung dalam tiga pasal, yakni pasal 470, 471, dan 472. “Misalnya, pasal 470, ini pasti kami gugat. Pasal ini bentuk kriminalisasi pada korban pemerkosan,” ujar Genovena.
RUU KUHP juga mengatur tindak pidana makar. Genovena berharap pasal tersebut dihilangkan dari KUHP baru. Sebab, indikasi seseorang yang berbuat makar tidak jelas. Delik makar diatur dalam pasal 167. ”Makar menjadi pasal karet yang bisa digunakan untuk memberangus kebebasan berekspresi dan berpendapat,” katanya.
Menghidupkan delik makar dinilai bertentangan dengan semangat mereformasi KUHP. Padahal, delik makar adalah warisan penjajah. Apalagi, delik tersebut pernah dibatalkan MK pada 2006.
Kontroversi lainnya menyangkut tindak pidana terhadap proses peradilan (contempt of court). Pasal tersebut dinilai rentan mengkriminalisasi pers atau masyarakat yang mengkritisi proses peradilan.
Substansi RUU KUHP secara keras dipertanyakan dan dikritisi praktisi hukum serta aktivis. RUU tersebut dianggap mengintervensi ranah privat masyarakat. Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Rasyid Ridha Saragih menegaskan, pasal-pasal RUU itu tidak punya kepentingan hukum yang jelas.
Dia mencontohkan pasal perzinaan. Dalam KUHP lama, istilah perzinaan digunakan untuk perbuatan melawan kesepakatan perkawinan. Artinya, melindungi ikatan perkawinan tersebut. ”Kalau sekarang, semua tanpa ikatan perkawinan juga akan kena. Ini tidak jelas objek perlindungannya apa,” ungkapnya kepada JPG.
Hukum Adat Menyalahi Prinsip Legalitas
Menyeret hukum adat ke dalam RUU KUHP menyalahi prinsip legalitas. Menurut pakar hukum pidana Agustinus Pohan, hukum pidana harus tertulis sehingga dapat menjamin kepastian hukum. ”Sedangkan hukum adat itu tidak tertulis,” katanya.
Sebab, aturan turunan akan dibuat DPRD dan kepala daerah selevel wali kota dan bupati. Dia khawatir pembuatan aturan tersebut malah membuka jalan intervensi politik. Sebab, DPRD berisi politikus bermacam-macam parpol. ”Apakah bisa parpol menetapkan kaidah adat,” kata dia. Kalaupun aturan turunan itu berhasil dilahirkan, lanjut dia, adakah jaminan semua pihak menerima.
Agustinus menyatakan, ada banyak sekali hukum adat di Indonesia. Akan lebih baik bila diserahkan kepada masyarakat adat, dijalankan oleh mekanisme adat. ”Menurut saya, serahkan saja kepada masyarakat adat untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran adat itu sesuai dengan kaidah adat. Nggak usah ditarik ke ranah hukum pidana,” terang dia. Dengan cara itu, hukum adat tetap ada dan tidak menjadi masalah baru.
Sikap Pers
Dewan Pers maupun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sepakat MK harus menjadi jalan akhir bila DPR nekat mengesahkan RUU KUHP. Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh mengingatkan, kemerdekaan pers harus terus dirawat dan dijaga. Sebab, pers merupakan pilar demokrasi. ”Segala upaya yang bisa melemahkan pilar itu ya harus kita sampaikan, tidak boleh,” terangnya. Sedikitnya ada 10 pasal dalam RUU KUHP yang bersinggungan dengan dunia pers.
”Kami sampaikan untuk dibatalkan (di drop, Red),” lanjutnya. Dia mengatakan, RUU KUHP tidak harus dipaksakan disahkan DPR periode sekarang. Masih ada waktu untuk membahasnya lebih lanjut bersama DPR periode berikutnya.
Nuh membenarkan bahwa batas antara menghina dan mengkritik amat tipis. Di satu sisi, tidak mungkin demokrasi bisa berjalan tanpa adanya kritik.***
Laporan JPG, Jakarta