JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Satgas Pangan Polri masih mendalami dugaan mafia minyak goreng yang diungkapkan Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi. Namun, kasus kelangkaan minyak goreng justru dinilai kurang tepat sasaran. Persoalan utamanya bukan soal minyak goreng. Melainkan, monopoli atas crude palm oil (CPO) di Indonesia.
Kasatgas Pangan Polri Irjen Helmy Santika mengatakan, Satgas Pangan Polri harus mengumpulkan informasi terkait dugaan mafia minyak goreng.
"Informasi ini semua ditampung," terangnya.
Setelahnya, baru diputuskan apakah kasus ini bisa ditingkatkan ke penyelidikan. Dengan begitu akan diketahui apakah ada dugaan unsur pidana di balik kasus mafia minyak goreng.
"Membuat terang suatu peristiwa, pidana atau bukan," jelasnya.
Sementara Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengaku akan membantu penegak hukum terkait kasus mafia minyak goreng. Menurutnya, sebenarnya ada yang salah arah dalam penanganan kasus mafia minyak goreng. "Seakan-akan masalahnya hanya di minyak goreng," tuturnya.
Padahal, problem utamanya jauh lebih dalam. Hingga ke persoalan monopoli CPO di Indonesia. Dia mengatakan, untuk kasus minyak goreng itu terbilang kasus yang relatif kecil. Dengan nilai kerugian yang hanya miliaran.
"Namun, persoalan CPO merupakan biangnya persoalan kelangkaan minyak goreng," jelasnya.
Menurutnya, kasus yang dilaporkannya ke Kejati DKI Jakarta soal penyeludupan 24 kontainer minyak goreng itu kerugiannya hanya Rp10 miliar. Minyak goreng diseludupkan dengan dokumen sayuran.
"Namun, persoalan penyeludupan CPO itu kasusnya jauh lebih besar," tuturnya.
Dia mengatakan, yang terjadi dalam penyeludupan CPO ada berbagai macam. Dari tidak punya kuota ekspor CPO, tapi mengekspor. Memiliki sedikit kuota CPO, tapi mengekspor dengan jumlah yang besar.
"Apalagi, yang punya kuota ekspor besar, jelas mengekspor dengan jumlah yang lebih besar dari kuota," jelasnya.
Kondisi tersebut melibatkan berbagai sektor, namun dengan kepemilikan yang sama. Dia mengatakan, semua itu hanya bisa dilakukan perusahaan yang memiliki kebun sawit, sekaligus pabrik CPO.
"Serta, punya perusahaan distribusi," terangnya.
Hal itu dikuatkan dengan temuan MAKI bahwa banyak perusahaan pelat merah produsen CPO justru kesulitan bahan baku membuat CPO.
"Ini terkait dengan orang yang kekayaannya di atas Rp100 triliun. Sembilan naga," paparnya.
Meski akhirnya pemerintah melunak dengan mencabut harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan di pasaran, Kementerian Perdagangan menegaskan akan terus mendalami dugaan mafia yang memicu kelangkaan minyak goreng. Kemendag terus melakukan koordinasi secara intensif dengan pihak kepolisian dan berjanji akan mengungkap oknum-oknum di balik ulah nakal tersebut.
Menanggapi polemik yang berkepanjangan, Pengamat Kebijakan Publik Achmad Nur Hidayat menilai bahwa potensi adanya kesengajaan pada kelangkaan minyak goreng di pasar memang terbuka lebar.
"Memang disparitas harganya terlalu tinggi (antara harga HET dan harga mekanisme pasar, red), sehingga mungkin banyak pihak yang merasa tidak mendapatkan margin yang seharusnya," ujar Hidayat, kemarin (20/3).
Menurut Hidayat, kebijakan tersebut membuat pasar terdistorsi, rantai distribusi pun macet. Dia menilai bahwa aksi penimbunan dan penjualan minyak goreng di pasar gelap pun menjadi bagian dari risiko kebijakan.
"Saat ini pun kebijakan pemerintah yang memberikan HET untuk minyak goreng curah belum tentu optimal karena risiko kelangkaan juga sangat bisa terjadi di minyak goreng curah," tambahnya.
Mendag Muhammad Lutfi menegaskan pihaknya tak ingin main-main dalam mengungkap dugaan mafia minyak goreng. Di hadapan Komisi VI DPR, Sabtu lalu (19/3), Lutfi mengatakan bahwa pihaknya sudah menyerahkan seluruh data dugaan mafia penimbun minyak goreng kepada kepolisian.