"Pemerintah Indonesia menerapkan hukuman finansial sebagai upaya terbaru untuk menekan saya berhenti melakukan advokasi HAM Papua," kata dia dalam keterangan tertulis yang ditujukan ke sejumlah media, Selasa (11/8).
Sebagai aktivis HAM, Veronica dikenal karena sejumlah advokasinya, terutama isu Papua, dan tak segan berkonfrontasi dengan pemerintah. Keberaniannya ini tak lepas dari rekam jejak pendidikan dan kariernya di lembaga advokasi HAM.
Veronica tercatat sempat menempuh pendidikan jenjang sarjana di Universitas Pelita Harapan dengan spesialisasi Hubungan Internasional selama lima tahun (2006-2011).
Kala itu, dia sempat menjabat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Hukum Internasional pada tahun 2009. Selain kiprahnya di kegiatan organisasi, wanita kelahiran Medan 1988 itu sempat memenangi perlombaan debat hukum.
Sebelum melanjutkan ke jenjang pascasarjana pada 2016, Veronica terlebih dahulu bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada 2014. Di lembaga ini, dia aktif menangani perkara-perkara yang yang dialami kelompok marjinal.
Dia secara terbuka pernah menolak rencana tes keperawanan bagi calon polisi wanita. Pada medio 2015, ia mendampingi 7 santriwati dalam perkara kekerasan seksual yang dilakukan oleh seorang ustad di sebuah pondok pesantren.
"Logika Polri yang bilang kalau tidak perawan lantas tidak bermoral itu sangat tidak berdasar dan tidak nyambung. Saya tanya balik, apakah suatu institusi yang melakukan kekerasan terhadap perempuan secara sistematis itu bermoral?" cetusnya, menyindir Polri, pada Kamis 20 November 2014 dikutip dari bantuanhukum.or.id.
Di pengujung 2014, atau satu bulan usai tragedi berdarah di Paniai, Papua, ia terpantau ikut Gerakan #PapuaItuKita bersama sejumlah pengacara lain di LBH Jakarta.
Kala itu, Veronica selaku pengacara publik LBH Jakarta mengkritik sikap Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang dianggap lamban untuk memerintahkan pengusutan kasus pembunuhan di Paniai 8 Desember 2014.
"Tidak ada sikap prihatin terhadap korban dan tegas dari Jokowi sebagai presiden," ujar Veronica ketika itu.
Sejak 2016, ia melanjutkan pendidikan pada Program Master of Laws di Australian National University (ANU).
Veronica tetap konsisten mengadvokasi kasus-kasus HAM Papua. Puncaknya, terkait kasus ujaran rasialisme di Asrama Mahasiswa Papua, di Surabaya, September 2019.
Saat itu, ada serangkaian demonstrasi besar di berbagai daerah. Kerusuhan pun pecah, terutama di berbagai daerah di Papua.
Veronica, yang aktif berkicau di akun Twitter-nya soal kasus itu, kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus penghasutan. Lantaran posisinya ada di luar negeri, dia jadi buron interpol lewat penerbitan red notice. Selain itu, ada pula ancaman pembatalan paspor.
"Kini pemerintah memaksa saya untuk mengembalikan beasiswa yang pernah diberikan kepada saya pada September 2016. Ada pun jumlah dana yang diminta adalah sebesar IDR773,876,918," ujar dia.
Sumber: CNN/CNBC/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun