JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti keputusan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) yang memberikan fasilitas cuti menjelang bebas (CMB) kepada terpidana kasus korupsi eks Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin. Pemberian hak integrasi itu dinilai kurang selektif dan tidak memperhatikan dampak besar dari korupsi yang dilakukan Nazaruddin.
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menerangkan, pihaknya sudah mendapatkan informasi terkait bebasnya Nazaruddin dari Lapas Sukamiskin, Bandung. Nazar, sapaan Nazaruddin, mendapat CMB atas dasar Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor PAS-738.PK.01.04.06 Tahun 2020 tanggal 10 Juni 2020 tentang CMB. Terpidana kasus korupsi wisma atlet Hambalang itu keluar pada Ahad lalu (14/6).
Ali menyebut pihaknya sejatinya telah menolak untuk memberikan rekomendasi sebagai persyaratan hak integrasi berupa asimilasi kerja sosial dan pembebasan bersyarat (PB) yang pernah diajukan Ditjenpas maupun Nazaruddin dan penasihat hukumnya. Permintaan rekomendasi itu tercatat masuk pada Februari dan Oktober 2018 serta Oktober 2019 lalu.
"KPK berharap pihak Ditjen Pemasyarakatan untuk lebih selektif dalam memberikan hak binaan terhadap napi koruptor," kata Ali, kemarin (17/6).
Ali menyebut KPK selama ini memang pernah menerbitkan surat keterangan bekerja sama untuk Nazar. Tepatnya pada 9 Juni 2014 dan 21 Juni 2017. Namun, surat kerja sama itu bukan ketetapan justice colaborator (JC) yang menjadi syarat memperoleh hak-hak narapidana.
Ali menyebut ketetapan JC hanya diberikan sebelum penuntutan dan putusan. Sementara selepas putusan atau perkara berkekuatan hukum tetap (inkracht) adalah surat keterangan bekerja sama. Dalam kasus Nazar, KPK hanya menerbitkan surat keterangan bekerja sama. Bukan surat ketetapan JC.
"Surat keterangan bekerja sama tersebut menegaskan bahwa pimpinan KPK saat itu tidak pernah menetapkan M Nazarudin sebagai justice collaborator," imbuh Ali.
Sofyan Basir Tetap Bebas
Langkah KPK melawan putusan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta terkait kasus eks Direktur Utama (Dirut) PT PLN Sofyan Basir di tingkat kasasi kandas. Pasalnya, hakim kasasi Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan jaksa penuntut umum (JPU) KPK. Dengan demikian, Sofyan Basir tetap bebas atas perkara suap PLTU Riau-1.
MA menjelaskan alasan Majelis Hakim Kasasi menolak permohonan penuntut umum dari KPK tersebut. Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menegaskan bahwa putusan judex facti yang dikeluarkan Pengadilan Tipikor Jakarta sudah tepat. Majelis Hakim tidak menemukan adanya kesalahan pengadilan dalam menerapkan hukum.
"Sudah benar dalam pertimbangan penerapan hukumnya bahwa terdakwa tidak terbukti terlibat membantu melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan (jaksa KPK)," jelas Andi secara tertulis ketika dikonfirmasi, kemarin (17/6).
Andi menambahkan bahwa majelis hakim menemukan adanya pengulangan dalam kasasi yang diajukan penuntut umum. Fakta-fakta yang dibeberkan sebagai alasan kasasi sudah pernah muncul dalam persidangan di tingkat Pengadilan Tipikor. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor sudah menilai hasil pembuktian tersebut dan hasilnya Sofyan Basir tidak bersalah dalam perkara suap terkait pembangunan proyek PLTU Riau-1 itu. "Atas dasar dan alasan tersebut, Majelis Hakim Kasasi dengan suara bulat menyatakan permohonan kasasi penuntut umum harus ditolak," tegasnya.
Perkara tersebut diputus oleh MA pada Selasa (16/6). Diketahui, Sofyan Basir divonis tidak bersalah atas tuntutan jaksa KPK. Pangadilan Tipikor Jakarta juga memerintahkan agar Sofyan dibebaskan dari tahanan pada 4 November 2019 lalu.(deb/tyo/jpg)