JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK akan berlaku besok (17/10). Hingga malam tadi (15/10), belum ada tanda-tanda Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengikuti tuntutan publik untuk menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang membatalkan revisi UU tersebut. Padahal, publik sempat menaruh harapan saat Jokowi menyatakan bakal mempertimbangkan untuk mengeluarkan perppu. Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko memberikan pernyataan abu-abu terkait penerbitan perppu KPK.
"Belum tahu. Tunggu aja nanti perkembangannya,” katanya saat ditemui usai kegiatan Program Pendidikan Magister menuju Doktor untuk Sarjana Unggul (PMDSU) di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta kemarin.
Menurut Moeldoko, situasi pembahasan aturan pengganti tersebut masih dinamis. Malah, mantan panglima TNI itu menyatakan belum ada keputusan dari Presiden Jokowi. Padahal, jelas-jelas tidak sedikit masyarakat yang menolak revisi UU KPK yang telah disahkan DPR pada 5 September itu. Demo besar-besaran mahasiswa hingga pelajar yang turun ke jalan beberapa minggu lalu dengan tegas menolak revisi UU KPK. Mereka menuntut Presiden Jokowi menerbitkan perppu untuk menyelamatkan KPK. “Kami juga mendengarkan aspirasi masyarakat. Semuanya masih proses,” ujar Moeldoko.
Sikap gamang Presiden terhadap revisi UU KPK pun mendapat sindiran tajam dari Ketua KPK Agus Rahardjo. Dengan berlakunya revisi tersebut, menurut Agus matinya KPK tinggal menunggu waktu. Sindiran itu disampaikan Agus saat berbicara di depan para perwakilan pemda pada Sosialisasi Sistem Informasi Pemerintah Daerah di Jakarta, Selasa (15/10).
Dalam kesempatan tersebut, Agus mengulangi penyampaian Mendagri Tjahjo Kumolo ntentang harapan agar di periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi tidak ada lagi operasi tangkap tangan. Agus pun bertanya-tanya soal itu. "Tidak ada OTT ini karena arah kita hanya ke pencegahan atau karena KPK-nya yang dimatikan," sindirnya.
Agus menuturkan, dia sudah berupaya menanyakan kepastian nasib KPK ke depan kepada Tjahjo karena dia juga sekaligus Plt Menkum HAM. Khususnya, kepastian apakah Presiden Jokowi jadi mengeluarkan perppu atau tidak. Sebab, penentuan nasib KPK tinggal hari ini dan besok (17/10).
Bila 17 Oktober tidak ada perppu yang keluar untuk membatalkan UU KPK yang baru, maka regulasi itu efektif berlaku.
"Begitu efektif, itu yang namanya pimpinan KPK yang sekarang duduk menjabat ini sudah bukan penegak hukum lagi," lanjutnya. Mengingat dalam UU yang baru itu pimpinan KPK jelas bukan penyidik dan penuntut. Dampak yang paling terasa tentu dalam penindakan.
"Ya, mungkin tidak ada OTT lagi," tutur Agus seraya menyentil bahwa aparat pemda akan senang mendengarnya.
Sementara itu Direktur Lingkar Madani (Lima) Ray Rangkuti mengaku tidak yakin Jokowi berani mengeluarkan perppu KPK. Pemicu utamanya, jelas dia, partai koalisi penyokong Jokowi-Ma’ruf tidak satu pun mendukung hal itu. Khususnya PDI Perjuangan sebagai partai utama.
"Partai koalisi tidak setuju. Itu saja masalahnya," kata Ray Rangkuti.
Menurut Ray, situasi saat ini justru terbalik. Bukannya partai koalisi yang mengawal presiden, tetapi justru presiden-lah yang mengawal kepentingan koalisi. Salah satunya dalam penolakan parpol atas penerbitan perppu KPK. Sebuah regulasi yang sebenarnya menjadi wewenang mutlak presiden.
Padahal revisi UU KPK berdampak cukup serius bagi Jokowi. Salah satunya presiden mulai kehilangan legitimasi publik menjelang pelantikannya. Sebetulnya jika Jokowi ingin menaikkan kembali pamornya, tidak ada cara lain dengan menerbitkan perppu KPK. "Tetapi apakah presiden berani melakukan ini. Saya tidak yakin," jelasnya. (han/byu/tyo/mar/jpg)