Menurut Peneliti dari Community of Ideological Islamic Analyst ( CIIA) Harits Abu Ulya, kecintaan rakyat terhadap TNI membuat mereka akhirnya bersikap kritis. Setiap perilaku yang dicurigai membiaskan jati diri TNI akan dituntut rakyat untuk pertanggungjawaban moralnya. Apalagi, TNI adalah alat negara, bukan alat kekuasaan.
“Barangkali pimpinan TNI perlu jelaskan ke publik, adakah dasar regulasi atau UU yang menjadi pijakan sanksi yang dijatuhkan dalam kasus ini,” ujarnya.
Kendati begitu, Harits mengamini bahwa ada kesan berlebihan dalam kasus ini. Ada beberapa poin yang menjadi perhatiannya. Seperti, sanksi yang diekspose secara terbuka di depan publik sampai penahanan 14 hari.
Dia mencontohkan, pada keputusan pencopotan Kolonel Kav Hendi Suhendi dari jabatan Dandim 147/Kendari, Sulawasi Tenggara. Pada realitasnya, Hendi harus menanggung beban tanggungjawab atas perbuatan sang istri. “Tentu, sebagai prajurit sejati, sang Kolonel siap salah. Karena itu doktrin prajurit yang berlaku,” katanya.
Namun, lanjut dia, muncul pertanyaan soal keharusan untuk mengumumkan putusan sanksi secara terbuka di depan publik. Hal ini tentu membuat publik bertanya soal maksud dan tujuan atas cara tersebut. Apakah cara itu memang untuk mendidik, membina, dan menjaga marwah bawahan.
“Namun apakah kemudian wajib diperlakukan secara tidak etis (sanksi diumumkan secara terbuka, red) ? Sederhananya kan anggota TNI ini dihukum hanya karena “gosipan” emak-emak,” tuturnya.
Celakanya, hukuman yang dijatuhkan pun double. Selain dicabut dari jabatan, anggota TNI berpangkat Kolonel ini juga disanksi sel 14 hari. Bahkan, tidak puas dengan sanksi internal, istri Komandan Kodim Kendari Kolonel HS juga diarahkan ke ranah peradilan umum.
Masalahnya, menurut dia, jika tindakan istri sang kolonel masuk ranah pidana dan hendak dipidanakan, maka faktanya tindakan tersebut belum pernah dibuktikan kesalahannya. “Belum ada penyelidikan, penyidikan, apalagi putusan hakim. Jadi asas praduga tak bersalah diabaikan begitu saja,” paparnya.
Dia melanjutkan, isu ini memang akan beda lagi jika dibawah diskusi dengan internal TNI. Upaya hukum memang bisa saja dilakukan. Sesuai UU ITE, harusnya hanya sang istrinya saja yang dituntut jika memang hal itu memenuhi unsur pidana.
“Lalu, karena suaminya anggota militer, maka juga bisa dikenakan Hukuman disiplin. Karena itu kewenangan atasan. Gak hormat saja bisa dikenakan hukuman disiplin. Dan ini dicari alasan gak bisa bina istri,” paparnya. Tapi sekali lagi, kata dia, harusnya yang dikedepankan adalah aspek pembinaan disiplin. “Dan gak perlu diekspose kemana mana gitu,” sambungnya.
Sementara, disinggung soal benar salah dari nyinyiran para istri anggota TNI ini, Harits menuturkan, tentu sebagai warga negara mereka berhak berpendapat. Namun, di sisi lain perlu dibina. Sehingga tahu mana batasan-batasannya.
Sementara itu, JPG juga mengkonfirmasi Dinas Penerangan TNI AD terkait pengumuman pencopotan jabatan tersebut. Namun, Kadispenad Brigjen TNI Candra Wijaya enggan berkomentar lebih jauh. “Yang disampaikan Kasad sudah jelas dan beliau tidak mau ada lebih banyak spekulasi,” terangnya kemarin malam.
Secara umum, prajurit TNI AD beserta keluarganya memang telah terikat peraturan untuk tidak mengunggah atau menyampaikan ke publik hal-hal yang tidak pantas atau sensitif. Seperti isu politik, SARA, maupun yang menjatuhkan martabat militer.
Dalam UU 25/2014 tentang Hukum Disiplin Militer, jenis pelanggaran diatur dalam pasal 8. Pelanggaran didefinisikan sebagai segala tindakan yang bertentangan dengan perintah dan peraturan kedinasan serta tidak sesuai tata tertib militer. Hukumannya berupa teguran, penahanan disiplin ringan maksimal 14 hari, dan penahanan disiplin berat paling lama 21 hari.
Di Sidoarjo, Fita Sulistyowati tertunduk malu saat mendatangi gedung SPKT Polresta Sidoarjo, Jumat kemarin (11/10). Sekitar pukul 19.30, perempuan berusia 44 tahun itu datang bersama tiga orang berseragam TNI AU. Mereka mengendarai mobil Polisi Militer dengan nopol 4060-02.
Wajah istri anggota Pomau Lanud Muljono Peltu Yunus Alfian itu sengaja ditutup jilbab motif bunga yang dikenakannya. Fita mengunjungi markas utama Polisi Sidoarjo itu bukan tanpa alasan.
Sebab, pada pagi hari sekitar pukul 09.00, dia membuat postingan yang cukup kontroversial bagi Keluarga Besar Tentara (KBT). Membuat kalimat hujatan atas peristiwa penusukan yang dialami Menkopolhukam Wiranto.
Sanksinya pun tidak main-main, teguran keras hingga pencopotan jabatan harus diterima suaminya.
Fita sendiri selaku orang sipil, dilaporkan ke Mapolresta Sidoarjo atas tuduhan pasal penyebaran ujaran kebencian dan berita bohong. Proses investigasi berjalan hingga 7 jam lebih. Tepat pukul 03.09 dia keluar dari ruang Satreskrim Polresta Sidoarjo, dengan menggunakan topi dan kacamata hitam. Tak ada satu pun kalimat yang diucapnya, termasuk tiga anggota TNI AU yang menemaninya.