DIBERIKAN MAKSIMAL 7 HARI SEBELUM IDULFITRI

THR Tidak Boleh Dicicil

Nasional | Selasa, 13 April 2021 - 09:17 WIB

THR Tidak Boleh Dicicil
Ida Fauziyah (Menteri Ketenagakerjaan)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Tahun ini, pekerja dan buruh bisa sedikit bernapas lega dalam mempersiapkan keperluan di hari raya Idulfitri. Pemerintah menetapkan tunjangan hari raya (THR) wajib dibayar penuh tanpa dicicil.

Hal ini tertera dalam Surat Edaran (SE) Nomor M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. SE tersebut ditujukan langsung pada para gubernur di seluruh Indonesia.


Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, pemberian THR keagamaan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh. Di mana, THR ini digunakan untuk memenuhi keperluan pekerja/buruh dan keluarganya dalam merayakan hari raya keagamaan.

"THR merupakan nonupah yang wajib dibayar pengusaha kepada pekerja atau buruh," ujarnya dalam temu media, Senin (12/4).

Pembayaran THR ini, lanjut dia, harus dilakukan maksimal sepekan atau tujuh hari sebelum hari raya keagamaan tiba. Meski begitu, ada kelonggaran yang diberikan oleh pemerintah bagi perusahaan yang tak mampu membayar THR karena masih terdampak pandemi. Perusahaan-perusahaan tersebut diberikan waktu maksimal sehari sebelum lebaran tiba.

Namun, dengan catatan, ada kesepakatan atau pembahasan secara bipartite terlebih dahulu antara pengusaha dan pekerja. Selain itu, perusahaan juga diwajibkan untuk membuka laporan keuangan mereka secara transparan pada pekerja. "Ini berdasarkan laporan keuangan internal selama dua tahun terakhir. Harus dibuka secara transparan," ungkapnya.

Setelah dicapai kesepakatan, perusahaan wajib menyerahkan hasil dialog pada dinas ketenagakerjaan setempat. Ida juga meminta agar gubernur dan bupati/wali kota untuk mengawasi. "Kesepakatan tersebut harus dipastikan tidak sampai menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar THR 2021 dengan besaran sesuai ketentuan," ungkapnya.

Pembayaran THR keagamaan sendiri diberikan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus atau lebih. THR keagamaan juga diberikan kepada pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.

Terkait jumlah besaran, bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, THR diberikan sebesar 1 bulan upah. Sementara, bagi pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus, tetapi kurang dari 12 bulan, THR diberikan secara proporsional. Perhitungannya, masa kerja dibagi 12 bulan kemudian dikali 1 bulan upah.

Lalu, bagi pekerja/buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja harian yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan atau lebih, upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima selama 12 bulan terakhir. Sedangkan bagi pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja kurang dari 12 bulan, upah 1 bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja.

Nah, bagi perusahaan yang telat membayar THR maka akan dikenakan denda 5 persen dari total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban pembayaran. Namun, denda ini tak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar THR kepada pekerjanya. Sementara, pengusaha yang tak membayar THR akan dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan membatasi kegiatan usaha perusahaan tersebut.

Ida juga meminta pemda untuk tegas dalam menegakkan hukum sesuai kewenangannya terhadap pelanggaran pemberian THR ini. Termasuk, membentuk Pos Komando Pelaksanaan Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2021 (Posko THR) dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.

Sementara itu, pengusaha masih menyampaikan nada keberatan terkait kebijakan pemerintah mengenai THR tahun ini. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J Supit menegaskan bahwa kebijakan tersebut memang tidak akan berpengaruh pada industri besar yang memiliki kemampuan finansial yang masih baik.

"Bagi yang mampu tidak masalah. Tanpa SE pun mereka akan bayar. Persoalan kan ada yang tidak mampu. Sedangkan SE ini kesannya memaksakan harus bayar lunas," ujar Anton kepada Jawa Pos (JPG), Senin (12/4).

Anton meminta pemerintah mencermati bahwa kewajiban membayar THR secara lunas bersifat general, berlaku untuk semua skala perusahaan tanpa terkecuali. "Artinya termasuk UKM. Tidak ada dispensasi (untuk perusahaan kecil, red). Padahal kita sendiri tahu kemampuan perusahaan berbeda-beda," tambahnya.

Anton mengatakan bahwa saat ini pengusaha relatif pasrah. Di satu sisi Anton menegaskan bahwa kebijakan atau instruksi pemerintah harus diikuti pelaku usaha yang tidak punya kuasa untuk melawan. Perkara sanksi, Anton mengatakan bahwa tidak ada yang bisa dilakukan jika pemerintah berkehendak demikian.

"Kalau pemerintah sudah mau main sanksi terserah pemerintah lah kami mau diapakan. Ini ibarat mau amankan ayam atau telurnya. Kalau ayamnya terus ditekan, dampak jangka panjangnya tentu ayamnya ada potensi mati," keluhnya.

Menurut Anton, selama pandemi masih belum jelas kapan usainya, pengusaha perlu memikirkan strategi bertahan. Secara sektor, pariwisata dan sektor angkutan menurut Anton menjadi sektor yang saat ini paling tertekan. "Kita harus mentally prepared untuk marathon bukan sprint. Artinya harus betul-betul jaga napas supaya tidak kehabisan napas di tengah jalan. Apakah ini disadari pemerintah?" tegasnya.

Anton berpendapat bahwa kesepakatan bipartit atau kesepakatan dua pihak secara khusus antara pemberi kerja dan penerima kerja masih menjadi solusi yang cukup adil. "Siapa yang paling tahu kondisi perusahaan jika bukan karyawan dan manajemen itu sendiri. Biarkan saja mereka berunding. Kecuali jika ada perusahaan yang moral hazard-nya jelek. Misalnya mampu tapi tidak mau membayar sesuai aturan. Nah, itu biar karyawannya yang bersikap," ujarnya.

Terpisah, Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menuturkan, tak seluruh sektor memungkinkan untuk membayar THR lunas. Hal itu didasarkan pada kinerja beberapa sektor yang belum sepenuhnya pulih.

"Yang memungkinkan misalnya sektor telekomunikasi, sebagian mamin, jasa kesehatan, sebagian di pendidikan juga saya rasa masih mampu. Industri dan di beberapa sektor lain belum pulih. Misalnya industri, angkutan, hotel dan restoran juga belum bisa," ujarnya pada Jawa Pos (JPG).

Tauhid menjelaskan, THR adalah kewajiban. Namun, perlu juga dipikirkan kondisi jangka panjang yang akan dihadapi. Jika perusahaan merasa kesulitan karena bisnisnya belum pulih, tentu harus ada win win solutions dari pelaku usaha dan karyawan.

Win win solutions bukan berarti meniadakan THR, namun lebih kepada mekanisme pembayaran THR yang barangkali bisa dicicil. "Atau dibayarkan sampai pengusaha itu mampu. Paling tidak dalam beberapa waktu terdekat," katanya.

Kebijakan itu semestinya bisa dipertimbangkan agar sustainability perusahaan juga bisa long term. Sehingga, negosiasi sangat mungkin dilakukan oleh kedua belah pihak. Namun, dia menekankan bahwa perusahaan tetap wajib membayarkan THR pada seluruh karyawannya.

Tauhid melanjutkan, perbaikan ekonomi bisa saja terjadi di momen Ramadan dan Idulfitri 2021. Meski dia memproyeksi tak akan banyak perubahan jika dibandingkan dengan momen Ramadan dan Idulfitri tahun lalu.

"Karena kalau kita lihat daya beli juga masih tertekan. Itu tercermin dari inflasi 1,37 persen yoy di bulan Maret, itu masih rendah. Kalau sekitar 2 persen bisa, tapi kalau masih segitu ya belum pulih. Mungkin saja ada kenaikan daya beli, tapi ya tentu belum bisa menyamai kondisi normal, apalagi masih ada pandemi," urainya. (mia/agf/dee/das)

 

 









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook