KPU Masih Abaikan Putusan Mahkamah Agung

Nasional | Selasa, 12 September 2023 - 10:01 WIB

KPU Masih Abaikan Putusan Mahkamah Agung
Ketua KPU Hasyim Asy’ari (tengah) bersama anggota memberi keterangan mengenai update Pemutakhiran Data Pemilih Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, beberapa waktu lalu. (MIFTAHUL HAYAT/JAWA POS)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Mahkamah Agung (MA) telah menganulir Pasal 8 Ayat 2 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023. Regulasi itu mengatur tata cara penghitungan keterwakilan 30 persen kuota perempuan dalam daftar bakal calon anggota legislatif (bacaleg). Majelis hakim sudah mengetoknya dua pekan lalu. Namun, sejauh ini KPU masih abai terhadap putusan MA tersebut.

Padahal, tahapan pencalegan terus berjalan. Bahkan, Kamis (14/9) lusa, tahapan pencalegan sudah memasuki pengajuan pengganti daftar calon sementara (DCS) setelah ada tanggapan masyarakat. Tak pelak, sikap KPU RI yang belum juga mau menindaklanjuti putusan MA tersebut mendapat sorotan dari sejumlah kalangan.


Peneliti Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Usep Hasan Sadikin menyatakan, pihaknya menyayangkan KPU yang lambat mengeksekusi putusan MA tersebut. Padahal, putusan hukum itu sudah jelas dan bersifat wajib dilaksanakan. ’’KPU selalu bilang sebagai pelaksana undang-undang (UU), maka seharusnya dilaksanakan. Kan putusan itu juga bagian dari UU,’’ ungkapnya kemarin (11/9).

Usep mengakui, putusan MA tersebut bisa jadi tidak nyaman bagi partai politik (parpol). Sebab, hal itu berpotensi mengocok ulang nama bacaleg mereka di banyak daerah pemilihan (dapil). Namun, putusan MA tersebut mengikat sehingga tetap harus dijalankan. Dia berharap KPU patuh pada putusan hukum dan tidak tunduk pada kepentingan parpol.

Dia menepis anggapan putusan MA itu sulit diterapkan pada saat tahapan pencalegan telah berjalan. Sebab, dari timeline yang ada, daftar caleg tetap (DCT) ditetapkan pada November mendatang. Saat ini, baru memasuki pertengahan September. Artinya, masih ada waktu yang cukup. ’’Kami malah bingung kalau ada alasan mepetnya tahapan menjadi pembenaran pelanggaran UU ini,’’ jelasnya.

Sementara itu, tidak hanya polemik keterwakilan perempuan, PKPU 10/2023 juga dinilai melempangkan jalan bagi para mantan koruptor menjadi caleg. Karena itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak MA untuk segera memutuskan judicial review terhadap norma PKPU tersebut. Sebelumnya, PKPU itu mengatur pengecualian masa jeda 5 tahun bagi bacaleg mantan terpidana yang mendapat hukuman pencabutan hak politik.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, hingga kemarin pihaknya masih menunggu. Dari sisi waktu, masa untuk MA memutuskan perkara sudah lewat dari ketentuan UU Pemilu. Karena itu, pihaknya berharap ada perhatian khusus dari ketua MA. ’’Kami mendesak untuk segera memutus dan membatalkan substansi yang memberikan karpet merah kepada mantan terpidana korupsi,’’ ujarnya.

Ketentuan tersebut, lanjut Kurnia, telah terbukti berdampak negatif. Pada masa pencalegan saja, ICW mencatat ada 9 bacaleg DPR RI, 6 DPD RI, dan 24 DPRD yang berstatus eks koruptor. Dia menginginkan putusan itu bisa keluar sebelum penetapan DCT. Dengan demikian, tersedia waktu untuk melakukan perbaikan terhadap nama-nama bacaleg yang tidak sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya, MK memutuskan bahwa mantan terpidana wajib menjalani masa jeda 5 tahun sebelum ikut running dalam pemilu. (far/c7/hud/jpg)

Laporan JPG, Jakarta









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook