Pemberantasan Teroris, Pelibatan TNI Perlu Syarat

Nasional | Minggu, 27 Mei 2018 - 12:12 WIB

Sementara Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia Solahudin menuturkan, semua telah memahami deradikalisasi ini, tidak bisa hanya BNPT. Tapi buruknya, ternyata BNPT ini selama ini berusaha sendirian. ”Hal itu memang harus diubah ke depan,” jelasnya.

Penegakan hukum hanya akan menyelesaikan pidana kasus terorisme. Namun, tidak akan menyelesaikan akar masalah dari terorisme, maka perkuatan BNPT dalam melakukan deradikalisasi dan kontra terorisme ini penting. ”Kalau bisa dilakukan. Terorisme tidak lagi menjadi ancaman,” tegasnya.

Baca Juga :Hamas Desak ICC Tuntut Israel Bertanggung Jawab atas Kejahatan Perang dan Genosida di Gaza

Catatan lainnya, program deradikalisasi ini seharusnya diarahkan kepada napiter dan mantan napiter yang nonkooperatif. Sekaligus, keluarga dan napiter dan mantan napiter nonkooperatif. ”Saat ini biasanya program malah diarahkan ke orang yang sudah tidak radikal,” ungkapnya.

Deradikalisasi terhadap napiter dan mantan napiter yang nonkooperartif ini penting. Sebab, mau tidak mau, ke depan mereka ini yang akan terlibat dan mengurusi soal hal radikal. ”Yang tidak kooperatif ini yang biasanya terafiliasi dengan ISIS,” ujarnya.

Terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla menuturkan, bahwa pelibatan TNI dalam penanganan terorisme itu memang diperlukan. Lantaran TNI juga punya keahlian dalam penanganan teror. Tapi, semua itu tentu sudah masuk dalam aturan UU. ”TNI kan aparat negara yang punya keahlian, tentu ada aturannya,” ujar JK, Sabtu (26/5).

Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menuturkan, pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme harus tetap dalam konteks operasi militer selain perang (OPSM). Aturan itu sesuai dengan UU TNI pasal 7 ayat (2) dan (3).

”Keterlibatan TNI sebagai pilihan terahir dan dengan sejumlah prasyarat ketat, misalkan apabila situasi dan kondisi mendesak di mana Polri atau penegak hukum sudah tidak mampu,” kata Yati.

Selain itu, harus jelas pula situasi, skala, derajat atau insentitas situasi yang memungkinkan TNI bisa terlibat. Yati juga menegaskan semestinya TNI tidak dilibatkan dalam penyelidikan, penyidikan atau pemidanaan. Sehingga ada jaminan tidak timpang serta punya mekanisme pengawasan yang jelas dan akuntabel.

”Berdasarkan hal–hal tersebut, maka sebaiknya pembentukan Kopsusgab tidak mendesak untuk dibentuk. Dan selama ini sudah terdapat praktik bagaimana TNI terlibat dalam operasi pemberantasan terorisme di Poso tanpa harus secara khusus diatur dalam UU pemberantasan terorisme maupun pembentukan Kopsusgab,” jelas Yati.(idr/jun/jpg)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook