Rp17 M Fee Bansos Diduga Mengalir ke Juliari

Nasional | Senin, 07 Desember 2020 - 09:00 WIB

Rp17 M Fee Bansos Diduga Mengalir ke Juliari
Firli Bahuri (Ketua KPK)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Sempat merespons saat dikonfirmasi soal operasi tangkap tangan (OTT) pejabat Kementerian Sosial (Kemensos) Sabtu (5/12), Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara juga masuk dalam daftar tersangka yang diumumkan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, Ahad (6/12) dini hari. Dia menjadi menteri kedua di Kabinet Indonesia Maju yang terjerat kasus korupsi setelah mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.

Juliari harus berurusan dengan KPK lantaran diduga menerima duit haram Rp17 miliar. Uang sebanyak itu berasal dari fee bantuan sosial (bansos) Covid-19 yang dibagikan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang. 


"Sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu per paket bansos," ungkap Firli. 

Penerimaan fee oleh Juliari, lanjut dia, tercatat sebanyak dua kali. Yakni periode pertama Rp8,2 miliar dan periode kedua Rp8,8 miliar. Sehingga total fee yang diterima oleh Juliari menyentuh angka Rp17 miliar.

Ketika Firli mengumumkan tersangka dalam kasus korupsi bansos tersebut Ahad dini hari, hanya tiga tersangka yang diperlihatkan kepada awak media. Yakni Matheus Joko Santoso, Ardian I M, dan Harry Sidabuke. Juliari bersama satu tersangka lain bernama Adi Wahyono tidak diperlihatkan karena sempat buron. Mereka baru diperlihatkan setelah menjalani pemeriksaan kemarin sore. Berdasar informasi yang diterima Jawa Pos (JPG), Juliari menyerahkan diri sekitar pukul 03.00 kemarin. Dia datang ke Gedung Merah Putih KPK dan langsung dibawa ke ruang penyidik.

Kurang lebih enam jam setelah Juliari menyerahkan diri ke Gedung Merah Putih, Adi Wahyono yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) Kemensos menyusul mendatangi kantor KPK. Menurut Firli, Adi Wahyono tiba di kantor lembaga antirasuah sekitar pukul 09.00. 

"Tersangka AW telah pula menyerahkan diri menghadap penyidik KPK," ungkap dia kemarin. 

Yang bersangkutan langsung diperiksa oleh penyidik. Dari total lima tersangka, KPK membagi mereka menjadi dua. Yakni tersangka penerima yang terdiri atas Juliari, Adi Wahyono, dan Matheus Joko Santoso. Dua tersangka lain, Ardian I M dan Harry Sidabuke menjadi tersangka pemberi. Tersangka Adi Wahyono dan Matheus Joko Santoso, kata Firli, dijerat pasal 12 huruf a  atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 dan pasal 12 huruf (i) undang-undang (UU) pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikot) juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sedangkan Juliari disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU tipikor juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP. Di lain sisi, tersangka pemberi disangkakan melanggar pasal 5 Ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 UU tipikor. Apakah para tersangka juga akan dikenakan pasal dengan ancaman hukuman mati sebagaimana pernah dinyatakan oleh Firli? KPK perlu mendalami lebih dulu.

Firli tidak menampik, pasal dengan ancaman hukuman mati memang ada dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor. Yakni pasal 2 ayat (2). Namun demikian, dia menilai, penyidik masih perlu mencari tahu apakah perbuatan Juliari dan tersangka lainnya masuk dan memenuhi unsur pelanggaran pasal tersebut. Dia ingin memastikan, pihaknya benar-benar bisa membuktikan apabila menerapkan pasal itu. 

"Tentu nanti kami akan bekerja berdasarkan keterangan saksi dan bukti-bukti apakah bisa masuk ke pasal 2 UU nomor 31 tahun 1999," bebernya.

Penyidik KPK, lanjut Firli, dipastikan bakal bekerja keras untuk memastikan hal itu. Mengingat kasus tersebut berkaitan erat dengan upaya penanggulangan Covid-19 di Tanah Air. Bahkan bansos menjadi program yang bukan satu atau dua kali disampaikan oleh Presiden Joko Widodo. Dalam berbagai kesempatan Presiden berulang menyebut bahwa bansos harus terdistribusi secara cepat dan tepat. Selain itu, KPK juga sudah memberi atensi lebih terhadap implementasi program tersebut.

Firli menyebut, lembaga yang dia pimpin sudah mengeluarkan dua surat edaran yang secara khusus menyoroti program-program terkait dengan upaya memerangi pandemi virus corona di Tanah Air. Setiap program yang disoroti oleh KPK juga sudah masuk ke dalam peta titik rawan yang mereka buat. Lebih dari itu, Juliari juga sempat datang ke KPK untuk menegaskan komitmen antikorupsi.

"Secara langsung tim pada kedeputian pencegahan KPK sudah bekerja bersama gugus tugas di tingkat pusat dan daerah untuk memberikan pendampingan," beber Firli.

Dalam kasus yang menjerat Juliari, KPK mendapati program bansos di Kemensos dengan nilai menyentuh angka Rp5,9 triliun. Anggaran sebanyak itu dibelanjakan lewat 272 kontrak yang dilaksanakan dalam dua periode. Periode pertama Mei–September dan periode kedua mulai Oktober–Desember. Untuk mengurus program tersebut, Juliari menugasi Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai PPK. Mereka memproses proyek itu lewat mekanisme penunjukkan langsung.

Tindakan korup dilakukan Juliari dan anak buahnya dengan menyepakati fee untuk program tersebut. "Yang harus disetorkan para rekanan kepada Kemensos melalui MJS (Matheus, red)," ungkap Firli. 

Setelah sepakat, mereka membuat kontrak kerja dengan rekanan. Yakni PT Rajawali Parama Indonesia (RPI), tersangka Ardian IM, dan Harry Sidabuke. KPK juga menemukan petunjuk yang mengarahkan bahwa PT Rajawali Parama adalah perusahaan milik Matheus. Meski demikian, Juliari sebagai mensos dan Adi Wahyono sebagai PPK tetap menyetujui penunjukkan langsung perusahaan itu. 

"Penunjukkan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui oleh JPB (Juliari, red) dan disetujui oleh AW (Adi, red)," tutur Firli. 

Selesai mengurus kontrak, program pun berjalan. Pada periode pertama, uang fee yang diterima sebanyak Rp12 miliar. Dari angka itu, Rp8,2 miliar diberikan oleh Matheus ke Juliari lewat perantara Adi Wahyono. Uang miliaran rupiah itu lantas dikelola oleh orang kepercayaan Juliari bernama Eko dan Shelvy. 

"Untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi JPB," kata Firli. Khusus periode kedua, fee yang terkumpul sebanyak Rp8,8 miliar. Seluruhnya disetorkan kepada Juliari dan diduga kembali dipakai untuk membiayai urusan pribadi pejabat berlatar belakang politisi tersebut. Tidak heran barang bukti yang ditemukan KPK mencapai Rp14,5 miliar. 

Kemarin, KPK juga mengumumkan bahwa para tersangka langsung ditahan selama 20 hari pertama. Mulai 6 Desember sampai 25 Desember. Matheus Joko Santosos ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK Cabang Gedung Merah Putih, Ardian I. M di Rutan KPK Cabang Pomdam Jaya Guntur, dan Harry Sidabuke di Rutan KPK Cabang Kavling C1. Serupa Ardian I. M, Juliari juga ditahan di Rutan KPK Cabang Pomdam Jaya Guntur. Sementara Adi Wahyono di Rutan Polres Jakarta Pusat.

Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menambahkan, kasus korupsi yang melibatkan Juliari masih sangat mungkin berkembang. KPK juga akan menelusuri aliran uang yang diterima oleh para tersangka. Termasuk di antaranya Juliari. Dia memastikan, KPK tidak memandang latar belakang politik Juliari di PDIP. Sehingga potensi ada aliran dana ke partai tersebut juga akan dicari tahu. 

"Itu bagian dari materi yang akan didalami," imbuh Ali. 

Penelesuran itu dilakukan lewat penerimaan sejumlah uang yang diterima Juliari. "Bahwa dia (Juliari, red) menerima sekian. Kemudian  ke mana selanjutnya, itu kan nanti buat dikembangkan," lanjutnya.

Saat hendak dibawa ke dalam rutan, Juliari tidak banyak menanggapi pertanyaan yang dilontarkan awak media. Sambil berjalan dia menyebutkan bahwa dirinya bakal mengikuti proses hukum. 

"Saya ikuti dulu prosesnya ya. Mohon doanya teman-teman," imbuhnya. 

Dia tidak menjawab tegas saat ditanya akan langsung mundur dari posisi mensos dan kepengurusan partai. 

"Iya, iya nanti saya (terputus)," kata dia singkat.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemensos Hartono Laras memastikan bahwa proses hukum yang berjalan terkait sejumlah oknum di Kemensos tak akan mengganggu program bansos. Pihaknya akan terus bekerja keras melaksanakan dan menyelesaikan program bansos, baik bansos reguler maupun bansos khusus dari sisa waktu anggaran 2020 yang segera berakhir. 

Dia menjabarkan, saat ini total anggaran Kemensos  mencapai Rp134,008 triliun dan realisasi lebih dari 97,2 persen per-6 Desember 2020. Angka ini diklaim paling tinggi realisasinya dibanding 85 kementerian dan lembaga lainnya. Dari jumlah tersebut, yang masuk skema program perlindungan sosial, baik yang reguler maupun non reguler (khusus), mencapai Rp128,78 triliun. Jumlah realiasi pun sudah lebih dari 98 persen. 

"Ini yang kita kawal terus," katanya dalam dalam konferensi pers di Jakarta kemarin.

Selain itu, pihaknya juga akan tetap fokus dalam mempersiapkan pelaksanaan program 2021. Di mana, ada sejumlah bansos yang harus sudah disalurkan di bulan Januari 2021 nanti. Mengenai OTT yang dilakukan KPK, Hartono mengaku jika seluruh jajaran Kemensos sangat kaget atas OTT yang terjadi pada Jumat (4/12) lalu. Dia juga prihatin terhadap kasus hukum yang akhirnya ikut menyeret beberapa orang tersebut. 

"Di samping juga kami terpukul," ungkapnya. 

Dia pun berkomitmen bakal bekerja sama dan membuka akses penuh terhadap berbagai informasi yang diperlukan guna memperlancar proses hukum yang sedang berjalan. Hal ini sebagai bentuk keseriusan dan dukungan Kemensos dalam upaya pemberantasan korupsi. Pasalnya, kejadian ini terjadi di tengah upaya seluruh jajaran yang terus bekerja keras melaksanakan tugas amanah, khususnya dalam menyalurkan bansos di tengah pandemi Covid-19 yang hadapi hampir 9 bulan terakhir ini. Pihaknya juga dengan tanpa mengenal lelah terus bekerja memastikan bansos tersalurkan secara cepat dan tepat sasaran.  "Tentunya dengan berusaha untuk terus mematuhi prinsip akuntabilitas," paparnya. 

Sejak awal, lanjut dia, pihaknya sudah berkoordinasi dengan aparat pengawasan pemerintah, baik dari internal Kemensos yaitu itjen kemensos maupun badan pengawasan keuangan dan pembangunan (BPKP) terkait penyaluran bansos ini. Kemudian, meminta aparat penegak hukum untuk melakukan pendampingan, pengawalan, dan pengawasan atas pengelolaan anggaran bantuan sosial. 

"Karena kami mengelola anggaran di tahun 2020 sangat besar. Oleh karena itu kami bekerjasama meminta pengawalan pendampingan," paparnya. 

Disinggung terkait adanya pihak vendor yang juga ditangkap, Hartono memastikan tak berpengaruh pada sisa penyaluran di akhir tahun. Sebab, masih ada beberapa vendor lainnya. Sayangnya, saat dikonfirmasi terpisah mengenai penunjukan vendor yang dilakukan tanpa lelang, Hartono tidak merespon. Dia juga tidak menggapi soal isu adanya saling lempar kewenangan saat penunjukan pejabat pembuat komitmen (PPK). Karena mereka tidak mau bertanggungjawab ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Terpisah, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kembali bersuara pasca KPK mengumumkan Juliari sebagai tersangka kasus korupsi bansos Covid-19. Ketua LPSK Hasto Atmojo menyatakan bahwa pihaknya turut prihatin lantaran ada lagi menteri yang jadi tersangka kasus korupsi. Lebih dari itu, dia menyayangkan lantaran korupsi dilakukan dalam program yang berkaitan dengan penanggulangan Covid-19. Untuk itu, instansinya mendorong supaya KPK mengungkap kasus itu sampai terang-benderang. 

Kepada semua saksi yang dimintai keterangan oleh KPK dalam kasus tersebut, lanjut Hasto, tidak perlu takut bicara. Sebab, keterangan mereka dibutuhkan untuk menggali banyak informasi terkait perbuatan yang dilakukan para tersangka. 

"Mari bantu penegak hukum dengan berani memberikan keterangan sehingga korupsi itu dapat diungkap dan pelakunya diadili," kata Hasto. 

Dia memastikan, pihaknya akan memberikan perlindungan maksimal kepada para saksi. Dengan begitu, mereka tidak perlu khawatir atau takut. Hasto menegaskan, perlindungan yang diberikan LPSK merupakan salah satu amanat undang-undang. Sehingga harus dilakukan dan diberikan.(byu/lum/mia/syn/ted)

Laporan: JPG (Jakarta)









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook