JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Dua tokoh elite menjadi saksi dalam persidangan perkara dugaan korupsi surat keterangan lunas (SKL) bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Yakni, mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Kwik Kian Gie dan mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli.
Keduanya blak-blakan menjelaskan kronologi pemberian SKL kepada para debitur penerima BLBI. Kwik Kian Gie, misalnya, menjelaskan bahwa dirinya beberapa kali menolak pendapat para menteri era Presiden Megawati Soekarno Putri terkait pemberian SKL tersebut. Namun, upaya itu sia-sia lantaran akhirnya Megawati tetap menyetujui SKL itu.
“Obligor itu kalau dipanggil datang, diajak bicara mau. Tapi menurut saya, belum tentu menyelesaikan masalah, karena obligor bisa berpura-pura kooperatif,” ungkapnya dalam sidang terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung itu di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/7). Pemberian SKL kepada obligor yang dianggap kooperatif sangat berbahaya. Sebab, takaran “bersikap kooperatif” sangat luas.
Kwik melanjutkan, sikap kooperatif saja tidak cukup untuk menyelesaikan kewajiban para obligor. Sebab, hal itu tidak bisa menjadi acuan atau jaminan para obligor mengembalikan uang negara.
“Dalam rapat sidang kabinet terakhir, saya tidak banyak protes, tidak banyak mengemukakan pendapat, karena saya tidak berdaya dengan pembicaraan para menteri saat itu,” jelasnya.
Di sisi lain, Rizal Ramli menyatakan BPPN tidak bisa mengambil keputusan sendiri dalam pemberian SKL. Karena itu, pihak lain yang turut serta mengambil kebijakan tersebut harus diusut tuntas. Terutama pejabat level atas pada saat kasus itu bergulir. Keterangan itu menguatkan pembuktian pidana korupsi di perkara yang diduga merugikan negara Rp4,58 triliun tersebut. Di sidang sebelumnya, jaksa KPK telah menghadirkan sejumlah mantan pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Diantaranya, Raden Eko SB, Stephanus Eka DS, Dira K Mochtar dan Thomas Maria.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, keterangan saksi sejauh ini memperkuat dakwaan jaksa KPK kepada Syafruddin. Khususnya terkait kewajiban Sjamsul Nursalim sebagai debitur yang menyerahkan aset dari Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). ”Kewajiban SN (Sjamsul Nursalim) belum final closing,” kata Febri.
Selain itu, fakta persidangan yang telah terungkap menyebutkan bahwa aset BDNI berupa utang petambak sebesar Rp4,8 triliun yang diserahkan BDNI kepada BPPN saat itu dalam kondisi macet.
”Pada prinsipnya, keterangan saksi-saksi semakin memperkuat pembuktian dakwaan KPK kepada SAT,” terang mantan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) tersebut.
Febri menambahkan, pihaknya berharap publik mengawal persidangan BLBI di Pengadilan Tipikor Jakarta besok. Sebab, perkara tersebut diduga merugikan keuangan negara cukup besar. Yakni Rp4,58 triliun. Jumlah itu lebih besar dibanding kerugian proyek KTP-el yang mencapai Rp2,3 triliun.
”Kasus BLBI dengan kerugian negara yang sangat besar ini perlu dikawal bersama,” jelasnya.(tyo/ted)