RIAUPOS.CO - KOALISI Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis mengkritisi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas usia minimal capres-cawapres yang dikabulkan sebagian. Keputusan itu dinilai sebagai kemunduran demokrasi, akibat langkah politik Gibran Rakabuming Raka, anak Presiden Joko Widodo maju sebagai cawapres.
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis, Julius Ibrani mengatakan, kondisi ini bahkan sampai disorot oleh media asing. Dia menilai kondisi ini sebagai jalan memuluskan politik dinasti.
“Kami memandang, kemunduran demokrasi di Indonesia yang menjadi sorotan dua media internasional tersebut merupakan fakta persoalan politik yang nyata terjadi dan tak terbantahkan, terutama jika mencermati dinamika politik elektoral jelang 2024,” kata Julius dalam keterangan tertulis, Sabtu (4/11).
Dia menegaskan, putusan Mahkamahh Konstitusi (MK) yang kontroversial dianggap sebagai kemunduran demokrasi Indonesia. Kemunduran tersebut telah banyak diangkat oleh sejumlah pakar dan analis politik, baik dari dalam maupun luar negeri terutama berkaitan dengan menurunnya tingkat kebebasan sipil di Indonesia.
“Secara tegas, putusan tidak menurunkan batas usia 40 tahun yang membuka ruang bagi anak muda untuk berkarya di dunia politik, namun khusus dihadiahkan untuk Kepala Daerah dengan atribusi usia di bawah 40 tahun, dan hanya Gibranlah yang secara faktual dapat memanfaatkan golden ticket itu. Artinya, secara politik putusan itu ditujukan untuk kepentingan politik putra Presiden sendiri yakni Gibran Rakabuming Raka agar lolos menjadi bakal Cawapres,” kata Julius.
Dia memaparkan, keputusan MK inu bukan hanya melanggar kode etik dan perilaku hakim tetapi bentuk intervensi dan manipulasi kekuasaan.
“Kami memandang, apa yang terjadi di MK dalam putusan Perkara No. 90 tersebut, merupakan bentuk kolusi, korupsi dan nepotisme yang terang-benderang terjadi. Perkoncoan dan nepotisme dilakukan penguasa untuk kepentingan keluarga dan bukan kepentingan bangsa,” tegasnya.
Hal ini, merupakan sesuatu yang bertentangan dengan semangat reformasi yang memandatkan pentingnya menolak segala bentuk nepotisme sesuai Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, dan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih Dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. “Praktik nepotisme antara penguasa dan MK ini merupakan bentuk perusakan pada demokrasi dan hukum di Indonesia,” ujarnya. ((jpg/muh)
Laporan JPG, Jakarta