JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Suhartoyo, Ketua PN Jaksel kini terpilih menjadi Ketua MK, menggantikan Anwar Usman. Pria kelahiran Sleman, 15 November ini memulai karier hakimnya dengan menjadi calon hakim di Pengadilan Negeri (PN) Bandar Lampung pada 1986.
Karier Suhartoyo di dunia peradilan malang melintang. Seperti di antaranya Hakim PN Curup (1989), Hakim PN Metro (1995), Hakim PN Tangerang (2001), Hakim PN Bekasi (2006) sebelum akhirnya menjabat sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar.
Selanjutnya, Suhartoyo juga terpilih menjadi Wakil Ketua PN Kotabumi (1999), Ketua PN Praya (2004), Wakil Ketua PN Pontianak (2009), Ketua PN Pontianak (2010), Wakil Ketua PN Jakarta Timur (2011), serta Ketua PN Jakarta Selatan (2011). Masa remaja pria kelahiran Sleman ini sudah tertarik terhadap ilmu politik. Suhartoyo sempat berharap dapat bekerja di Kementerian Luar Negeri.
Namun kegagalannya menjadi mahasiswa ilmu sosial politik memberi berkah tersendiri karena ia akhirnya memilih mendaftar menjadi mahasiswa Ilmu Hukum.
“Saya tidak menyesali tidak diterima menjadi mahasiswa Ilmu Sosial, karena sebenarnya ilmu sosial politik sama dengan ilmu hukum. Orientasinya tidak jauh berbeda,” ujarnya dilansir dari dokumen MK RI.
Seiring berjalannya waktu, ketertarikan Suhartoyo untuk mendalami ilmu hukum untuk menjadi seorang jaksa, bukan menjadi seorang hakim.
Keputusan menjadi tertarik menjadi hakim, karena teman belajar kelompok di kampus mengajak untuk mendaftar dalam ujian menjadi hakim. Suhartoyo turut dalam ujian tersebut.
“Justru saya yang lolos dan teman-teman saya yang mengajak tidak lolos. Akhirnya saya menjadi hakim. Rasa kebanggaan mulai muncul justru setelah menjadi hakim itu,” jelasnya.
Karier Suhartoyo masuk dalam Mahkamah Konstitusi yaitu menjadi Hakim Konstitusi menggantikan Ahmad Fadil pada tahun 2015.
Mahkamah Konstitusi merupakan tempat yang sama sekali baru bagi ayah dari tiga orang anak. Kewenangan yang berbeda dimiliki oleh MK dan MA membuatnya belajar banyak. Suhartoyo mengaku cepat belajar dan mudah menyesuaikan diri di lingkungan MK.
“Saya menemukan perbedaan dari sisi naskah putusan, di sini (MK, red) bahasanya lebih halus dibanding di MA yang penggunaan bahasanya cukup tajam. Sedangkan soal proses persidangan, saya merasa tidak ada masalah,” terangnya.
Berasal dari lingkungan sederhana, membuatnya tidak terlalu mengandalkan jabatan atau posisi. Ketika menjadi hakim konstitusi, Suhartoyo menjadi tidak nyaman karena merupakan hal yang tinggi dan keberadaan penyediaan fasilitas yang ada.
“Saya ini nyaman menjadi orang-orang biasa saja,” ungkapnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Edwar Yaman