JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Jelang putusan Majelis Kehomatan Mahkamah Konstitusi, Koalisi Indonesia Maju (KIM) optimis nasib pasangan Prabowo-Gibran tak terusik. Terlepas, dari apapun putusan MKMK terhadap para hakim.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburrokhman menegaskan, secara hukum putusan etik tidak bisa membatalkan putusan MK. “Mana ada putusan dewan etik, lembaga etik membatalkan putusan pengadilan,” ujarnya di Hotel Sahid Jakarta, Ahad (5/11).
Terlebih, pengadilan di MK bersifat khas. Berbeda dengan pengadilan lain yang fokus pada kasus, di MK objek yang dijadikan perkara adalah norma undang-undang. Sehingga sifat putusan berlaku untuk semua orang di Indonesia. “Dalam PUU (pengujian undang-undang) enggak ada namanya conflict of interest,” ujarnya.
Dia mencontohkan, saat gugatan terhadap usia hakim MK diuji, semua hakim menguji pasal itu tanpa harus mundur. Padahal, norma itu berkaitan langsung dengan nasib para hakim sendiri. Itu disebabkan karena yang diuji adalah konstitusionalitas.
Oleh karenanya, Habib mengaku tidak terlalu khawatir dengan putusan MKMK besok. Dia meyakini, MKMK taat pada asas hukum. “Kalau pertanyaannya apakah kita khawatir kalau putusan MK dibatalkan, tidak mungkin secara akal sehat,” ujarnya.
Sementara itu jelang putusan, pakar hukum Tata Negara Denny Indrayana terus mendesak MKMK untuk progresif. Tak hanya fokus pada persoalan etik, namun juga menyasar putusan yang berkaitan dengan pelanggaran etik itu sendiri.
Denny mengatakan, dari sisi sejarah memang belum ada yurispudensi mahkamah etik di MK membatalkan putusan. Wajar saja, karena kasus ini merupakan yang pertama terjadi di MK. Meski demikian, di lembaga lain, Denny menilai ada yurispridensinya. Yakni pernah terjadi dalam peradilan etika kepemiluan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) beberapa tahun lalu.
Kala itu, DKPP yang dipimpin Jimly Ashiddiqie menjatuhkan sanksi etik sekaligus melakukan koreksi terhadap keputusan KPU.
“Karena itu saya katakan untuk final biding itu tetap harus ada exception. Setiap prinsip hukum itu selalu ada pengecualian,” ujarnya.
Terlebih, Denny menegaskan laporannya berbeda dengan pihak lain. Sebab, dia sudah mengadukan Anwar Usman dua bulan sebelum putusan MK dibacakan sebagai upaya antisipasi. Di situ, dia sudah meminta agar Anwar Usman tidak ikut memutus perkara.
Sebab sejak awal Denny meyakini, sudah putusan tersebut akan bermasalah. “Kalau saya dikatakan ‘Maaf ya sudah final binding tidak bisa diganggu gugat’ ya jangan begitu dong. Saya kan sudah mengingatkankan sebelum keputusan,” ujarnya.
Mantan Wamenkumham itu menerangkan, jika MKMK hanya menjatuhkan sanksi etik terjadap Amwar Usman. Namun di sisi lain putusannya tetap dinikmati oleh pelaku yang terorganisir dan terencana ini, maka menciptakan ketidakadilan.
“Dan saya mengatakan, hukum tanpa etika itu tidak sah, batal demi hukum,” tegasnya.
Terpisah, koordinator Pergerakan Advokat Nusantara sekaligus Pelapor Ketua MK, Petrus Selestinus berpendapat, sepanjang MKMK memberikan sanksi terhadap Anwar Usman cs, maka berdampak pada implikasi hukum berupa tidak sahnya putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. “Entah putusan MKMK ini memberhentikan atau hanya sebatas peringatan,” tegasnya.
Tidak sahnya putusan MK berdasarkan dua ketentuan Pasal 17 Ayat 5 dan Ayat 6 Undang-Undang Nomor 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam Ayat 5 menyebutkan seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa baik atas kehendak sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
“Dalam Ayat 6 menyebutkan dalam hal terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan,”terangnya.
Dia mengatakan, kekuatan moral putusan MKMK diharapkan tidak saja menegakan Kode Etik dan menjaga marwah MK. Tapi, juga berdampak pada memgembalikan kepercayaan publik, sekaligus mencegah terjadinya pemakzulan terhadap Presiden Jokowi.
“Selain itu juga agar MK segera membentuk Majelis Hakim Konstitusi yang baru untuk mengadili kembali Perkara No.90/PUU-XXI/2023 minus Anwar Usman,” urainya.
Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tanggal 16 Oktober 2023, ibarat bayi yang lahir mati. Putusan MK itu memiliki sifat final dan mengikat namun seketika itu juga sifat final dan mengikatnya hilang.
“Atau setidak-tidaknya terhitung sejak 7 November 2023, saat di mana Anwar Usman diberi sanksi administratif atas alasan berkepentingan lewat putusan MKMK,” terangnya.(far/idr/jpg)