JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Bambang Widjojanto (BW) menyesalkan langkah pimpinan KPK era Firli Bahuri yang menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam kasus dugaan korupsi Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menjerat obligor Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim. Penerbitan SP3 itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK atau UU KPK hasil revisi.
"SP3 dari Pimpinan KPK dapat menjadi bukti tak terbantahkan dampak paling negatif dari hasil revisi UU KPK yang disahkan di periode Presiden Joko Widodo (Jokowi)," kata mantan Wakil Ketua KPK dalam keterangannya, Ahad (4/4).
BW menyesalkan, kasus korupsi BLBI yang merugikan keuangan negara senilai Rp4,58 triliun itu justru dihentikan. KPK seharusnya mengusut dan tak berhenti dalam skandal mega korupsi BLBI.
"Ada pertanyaan dan perdebatan reflektif bisa diajukan, apakah tanggung jawab hukum KPK di bidang penindakan dengan segala kewenangan yang melekat padanya menjadi berhenti, bila salah satu penyelenggara negara dinyatakan lepas dari MA?," ujar BW.
BW tak memungkiri, pengusutan skandal korupsi BLBI merupakan janji pimpinan KPK terdahulu, untuk melakukan upaya hukum biasa dan luar biasa. Serta terus mengusut kerugian keuangan negara, tetapi kini seolah digadaikan oleh pimpinan KPK saat ini.
"Padahal Syafruddin Arsyad Temenggung (mantan Kepala BPPN) dinyatakan bersalah di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Tetapi dilepas, karena adanya perbedaan tafsir hukum di antara para hakim agung kasus dimaksud," sesal BW.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan, alasan pihaknya menerbitkan SP3 untuk Sjamsul Nursalim dan Ijtih Nursalim berdasarkan putusan peninjauan kembali (PK) mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT). Putusan PK itu menguatkan putusan kasasi yang dijatuhkan MA terhadap Syafruddin.
"Putusan MA RI atas kasasi SAT Nomor: 1555 K/Pid.Sus/2019 tanggal 9 Juli 2019 dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak pidana dan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging)," kata Alex membacakan kutipan putusan kasasi Syafruddin di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (1/2).
Perkara yang menjerat Syafruddin dalam kasus BLBI yang dinilai merugikan keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun merupakan acuan untuk menjerat Sjamsul Nursalim dan istrinya Ijtih Nursalim.
Tetapi jeratan hukum terhadap Syafruddin dimentahkan pada tingkat kasasi Mahkamah Agung. Padahal oleh pengadilan tingkat pertama pada Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Syafruddin divonis 13 tahun pidana penjara dan denda Rp700 juta. Putusan itu dibacakan pada 24 September 2018.
Alex mengakui, KPK sempat mengajukan upaya hukum PK terhadap putusan Syafruddin. Tetapi putusan itu dimentahkan dan menguatkan putusan tingkat kasasi.
Menurutnya, KPK tidak mempunyai upaya hukum lain untuk menindaklanjuti perkara BLBI. Sehingga meminta pendapat dari ahli, sebagai upaya menindaklanjuti perkara BLBI.
"Keterangan ahli hukum pidana yang pada pokoknya disimpulkan bahwa tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh KPK," ujar Alex.
Terlebih Sjamsul Nursalim dan istrinya, Ijtih Nursalim bukan merupakan unsur penyelenggara negara atau keduanya merupakan pihak swasta. Alasan ini sehingga KPK menerbitkan SP3.
"KPK berkesimpulan syarat adanya perbuatan penyelenggara negara dalam perkara tersebut tidak terpenuhi sedangkan tersangka Sjamsul Nursalim dan Ijtih Nursalim berkapasitas sebagai orang yang turut serta melakukan perbuatan bersama-sama dengan Syafruddin Arsyad Temenggung selaku penyelenggara negara, maka KPK memutuskan untuk menghentikan penyidikan perkara Sjamsul Nursalim dan Ijtih Nursalim," pungkas Alex.(jpg)