Saat "Virus" Lato-Lato Menginvasi

Liputan Khusus | Minggu, 15 Januari 2023 - 09:30 WIB

Saat "Virus" Lato-Lato Menginvasi
Lato-lato (RIAU POS)

Kepala Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, Abdul Jamal, Kamis (12/1) mengatakan, pihak sekolah harus tegas melarang anak didiknya membawa serta memainkan lato-lato tersebut di lingkungan sekolah. Sekolah juga diminta memberikan edukasi tentang bahaya permainan tersebut. 

Saat ini, larangan tidak membawa dan memainkan lato-lato tersebut masih sebatas lisan. Akan tetapi ke depan, boleh jadi akan dilarang melalui surat resmi. Adapun alasannya adalah karena  permainan tersebut dinilai tidak ramah anak dan bisa membuat cedera.


Viral dan Sempat Dilarang

Permainan lato-lato dianggap sebagai suatu hal yang positif karena mengalihkan perhatian anak-anak dari gawai (gadget). Sejak pandemi Covid-19, gawai yang dulunya dilarang pada anak usia sekolah justru malah melekat pada mereka. Akibatnya, selain untuk belajar, gawai justru jadi sarana bermain anak dengan sejumlah games. Permainan tradisional seakan ditinggalkan, bahkan setelah pandemi Covid-19 mereda. Tapi, media sosial juga yang kemudian memperkenalkan lato-lato. Tiktok membuat lato-lato viral dan digemari anak-anak.

Istilah lato-lato konon berasal dari bahasa Bugis. Lato-lato disinyalir berasal dari kata kajao-kajao, yang artinya nenek-nenek. Kata tersebut akhirnya berubah pengucapan menjadi kato-kato dan kemudian lato-lato. Istilah ini yang kemudian populer.

Mainan awal yang kini dikatakan sebagai asal-muasal lato-lato dikenal dengan clackers. Mainan ini muncul pada tahun 1960-an di Amerika Serikat dan Eropa. Awalnya, mainan ini terbuat dari kaca hingga kayu. Jika pecah, serpihannya dapat mengakibatkan cedera pada mata.

Berbagai kasus akhirnya mendorong perubahan bahan dasar kaca pada lato-lato menjadi plastik. Pada tahun 1990-an, lato-lato dibuat lebih aman dengan bahan akrilik untuk menjadi mainan. Amerika sempat melarang permainan ini, begitu juga Inggris dan sejumlah negara Eropa. Salah satu penyebabnya adalah karena suaranya yang dianggap mengganggu.


Meriam Kaleng hingga Yoyo

Permainan tradisional anak-anak di Pekanbaru memang datang silih berganti. Ada saja yang memulai, lalu permainan itu populer dan diikuti yang lainnya. Beberapa permainan merupakan permainan tradisional lama yang kembali muncul. Tapi ada juga yang baru atau sudah lama sekali dan baru ada saat ini. Lato-lato termasuk permainan yang sudah puluhan tahun tak pernah dimainkan.

Sebelum lato-lato, anak-anak Pekanbaru bermain layang-layang. Tapi permainan ini tak berlangsung lama, hanya sekitar satu bulan, ketika lato-lato pelan-pelan menginvasi seluruh umur. Sebelumnya, mereka bermain yoyo, dari yoyo biasa hingga yang berlampu. Tapi permainan yang dulunya cukup populer dari generasi ke generasi ini juga tak bermusim lama. Hanya satu hingga dua bulan saja.

“Sebelum yoyo itu main gambar. Itu lama musimnya,” ujar Asraf.

Main gambar ini bisa dibilang sangat lama dan berkelindan dengan mainan lainnya. Saat musim yoyo muncul, anak-anak tak berhenti main kartu. Begitu juga saat musim layang-layang, mereka tetap bermain kartu. Biasanya mereka main tepuk, banting, dan main sogom. Main gambar ini termasuk memiliki periode yang berulang kali. Gambar yang diproduksi produk permainan anak disesuaikan dengan kartun yang populer di televisi. Misalnya saat ini ada gambar Boboiboy, Ultraman, Tayo, dan lainnya. Permainan gambar ini termasuk lintas generasi anak karena banyak juga dimainkan anak-anak balita. Rentang musimnya termasuk panjang.

Tapi lato-lato lebih lintas generasi lagi. Anak-anak balita juga bermain lato-lato yang memiliki tangkai. Bahkan mainan ini termasuk kelompok mainan edukasi.

“Kadang kalau tak musim apa-apa, kami main bola,” ujar Asraf.

Ada lagi musim main selepa. Mainan ini memerlukan tim. Satu tim biasanya empat orang Caranya menggunakan sandal yang ditumpuk, lalu dilempar oleh satu tim dari jarak tertentu dengan garis yang dibuat. Jika kena dan sandal itu jatuh, mereka boleh menggebok (gebuk/lempar) lawannya. Jika kena, maka dinilai menang.
Sebelum itu, permainan yang juga populer adalah meriam kaleng. Tapi meriam kaleng generasi baru ini berbeda dengan meriam kaleng generasi-generasi sebelumnya yang marak di bulan Ramadan. Musimnya sama, yakni saat Ramadan, tipenya berbeda. Meriam kaleng generasi baru ini lebih kecil. Biasanya kaleng yang dipakai juga lebih kecil, yakni kaleng susu bear brand, atau sarden kecil. Kaleng disusun enam buah dan dilekatkan. Masing-masing kaleng dibolongi empat lubang sehingga saling terhubung. Bahan bakarnya saat ini juga berbeda.


“Pakai spritus,” ujar Asraf.
Ini tentu berbeda dengan meriam kaleng zaman para orang tua mereka yang kerap menggunakan minyak tanah. Daya ledak meriam kaleng zaman ini juga tidak sebesar zaman dulu. Meriam era anak sekarang juga tidak menggunakan peluru. Mereka hanya berharap sensasi mendengar ledakan. Tapi juga tidak terlalu besar dibandingkan generasi sebelumnya. Apalagi jika menggunakan karbit. Tidak pernah juga ada larangan, karena tidak terlalu banyak yang memainkan. Ini beda dengan petasan yang juga kerap marak saat Ramadan.

“Kalau meriam ini saya bawa dari kampung di Batu Sangkar. Lebih dulu main di sana. Baru musim di sini belakangan,” ujar Asraf yang kerap jadi trendsetter di antara rekan-rekannya ini.***

 

Laporan MUHAMMAD AMIN, Pekanbaru









Tuliskan Komentar anda dari account Facebook