Selain lato-lato biasa, ada lagi lato-lato berlampu. Lato-lato berlampu ini juga ada dua. Yang pertama harus disenter terlebih dahulu. Ada juga yang tidak. Menariknya, jika tidak dimainkan, lampunya tak akan menyala. Lampu baru menyala saat dimainkan. Makin cepat dan keras dua bola beradu, lampu yang menyala juga makin terang.
“Tapi kalau tidak hati-hati bisa pecah,” ujar Asraf.
Ridwan (12), yang cukup ahli memainkan berbagai gaya permainan lato-lato ini menambahkan, risiko bermain lato-lato memang ada. Salah satunya lato-lato yang pecah dari lato-lato berlampu itu. Adapun lato-lato konvensional jarang pecah. Risiko yang bisa terjadi adalah lato-lato terlepas dari tangan, lalu mengena orang lain atau diri sendiri. Yang kena bisa mata, bibir, atau anggota tubuh lainnya. Kadang kaca jendela atau kaca mobil. Risiko luka atau lebam biasa mereka terima.
“Kalau pertama kali ada juga yang kena kepala atau tangan. Kadang bisa bengkak dan berdenyut,” ujarnya.
Beberapa kejadian memang sempat menimpa anak-anak akibat permainan ini. Risiko terkena mata dan bibir beberapa kali terjadi. Menurut Tri Mandala Putra (11), ada juga kejadian pada siswa Kelas III SD 143 Pekanbaru. Matanya terkena bola lato-lato ini. Hanya saja tidak parah. Tapi sempat dibawa ke rumah sakit.
Habibi (7), satu dari pemain lato-lato kecil di antara kelompoknya dengan bangga memainkan permainan itu. Dia terlihat sudah ahli memainkan gaya helikopter hingga dinding, juga gaya pramuka. Menurut Raka (10), makin ahli bermain, maka makin banyak juga gaya baru yang dibuat dan dimainkan.
“Selalu ingin main gaya baru,” ujarnya.
Risiko lato-lato terlepas biasanya terjadi pada pemula. Tapi yang sudah biasa pun kadang bisa lepas juga. Selain lepas dari tangan, risiko salah satu bola lepas dari ikatannya juga ada. Biasanya ini diantisipasi dengan membakar ikatan lato-lato usai diikat. Agar tidak bosan, biasanya anak-anak bertukar satu bola lato-lato. Jadi warna sepasang lato-lato ini akan berbeda. Tapi mengikatnya kembali tentu saja berisiko tidak kuat. Bahkan berpotensi lepas.
“Maka ujungnya biasanya dibakar,” tambah Fikra (12).
Dari sejumlah anak lelaki yang bermain berkelompok pada Kamis (12/1) di Kelurahan Wonorejo Pekanbaru itu, ternyata 100 persen pernah bermain lato-lato dan pernah punya dua bola bertali itu. Ada sekitar 15 anak yang bermain bersama. Sepuluh di antara mereka membawa lato-lato. Dua di antaranya mengaku tak lagi memiliki lato-lato.
“Hilang,” kata Hanif (11).
Hanif juga tak lagi memiliki lato-lato sekarang. Dia tak juga berusaha membeli yang baru. Harga lato-lato standar Rp15 ribu per pasang. Ada juga yang lebih murah, Rp10 ribu per pasang. Lato-lato berlampu juga tak lebih mahal, ada yang dijual seharga Rp15 ribu per pasang.
Tak punya lato-lato lagi, Hanif kini malah kembali asyik bermain bersama tetangganya Said (13) yang sedang menonton tayangan YouTube di gawainya. Beberapa anak lain juga ikut menonton.
Menurut Asraf, di kelasnya ada 37 murid. Siswa kelas VI SD 143 Wonorejo ini menyebut, dari seluruh murid di kelasnya, sebanyak 15 anak memiliki dan main lato-lato. Dia pun sempat dan sering bermain lato-lato di sekolah. Hanya saja, belakangan, guru mulai melarang lato-lato dimainkan di sekolah. Alasannya mengganggu pelajaran karena suaranya yang ribut. Selain itu, lato-lato juga dianggap membahayakan. Razia lato-lato pun dilakukan. Bagi yang kedapatan membawa lato-lato bisa disita dan baru dikembalikan usai jam pelajaran sekolah. Tapi tetap saja ada yang membandel dan berhasil lolos. Hanya saja mereka memainkan diam-diam saat waktu istirahat. Itu pun harus jauh dari guru. Jangan sampai suaranya terdengar guru.
“Baru Selasa lalu dilarang,” ujar Asraf.