Banyak pengalaman dan pengajaran yang didapat Nurmi selama mengajar Arab Melayu. Bahkan ia pernah diminta mengajar di salah satu sekolah swasta non muslim. Nurmi sangat mau. Tapi karena tidak cukup jam mengajar, Nurmi menolak. Ia memilih mengajarkan kepada guru di sana hingga bisa. Saaat ini, guru di sekolah itu sendiri yang mengajarkan Arab-Melayu di sekolah tersebut. ‘’Belajar Arab-Melayu bukan balajar Islam. Itu belajar kebudayaan. Arab-Melayu itu warisan kebudayaan masa lalu yang harus dipelajari anak-anak sekarang supaya kita tidak kehilangan, supaya tidak putus,’’ katanya lagi.
Belajar Arab-Melayu juga bukan belajar Bahasa Arab. Meski tulisan yang muncul berupa tulisan Arab, tapi bisa dibaca dengan Bahasa Indonesia. Karena itulah disebut Arab-Melayu. Arab Melayu bukan hanya dipelajari di Riau saja, tapi juga di Sumatera dan Indonesia secara luas. Kaidah-kaidah atau ketentuan-ketentuan penulisan yang dipakai juga bukan kaidah Bahasa Arab. Ada kaidah khusus. Jika tidak dipelajari dengan serius, maka akan terjadi kesalahpahaman dalam menulis dan membaca.
Sejak mengikuti pelatihan membaca dan menulis Arab-Melayu pada 1980-an, kini Nurmi tidak pernah lagi mengikuti pelatihan itu. Bahkan tidak ada pelatihan secara khusus untuk guru-guru yang baru. Hal itu sangat menyulitkan. Guru hanya dibekali satu buku pelajaran untuk masing-masing kelas. Di dalam buku itu disebutkan beberapa ketentuan tentang Arab-Melayu, tapi tidak ada penjelasan khusus atau lebih lanjut tentang ketentuan itu. Tidak ada guru pedoman khusus tentang Arab-Melayu.
‘’Kalau guru yang baru mengajar Arab-Melayu tanpa ada pelatihan khusus, ya sulit karena tidak ada buku pegangan atau petunjuk khusus bagi guru. Hanya ada satu buku pelajaran saja. Di dalam buku itu disebutkan beberapa ketentuan. Misalnya huruf terbuka dan tertutup, tapi tidak ada penjelasan. Kalau tidak pernah belajar, sangat sulit untuk memahami. Seharusnya ada buku pedoman khusus guru dan diadakan pelatihan-pelatihan lagi,’’ sambung Nurmi.
Diakui Nurmi, banyak kawan-kawan gurunya yang mengajarkan Arab-Melayu. Guru-guru muda yang baru diangkat pihak sekolah, tapi tidak menguasai Arab Melayu. Selain tidak memiliki latar belakang pendidikan Arab-Melayu, juga tidak pernah mengikuti pelatihan khusus. Mereka banyak mengeluh, tidak paham sehingga mengajarkan Arab-Melayu kepada anak-anak di sekolah juga hanya sekadar untuk melepas tanggungjawab.
Selama mengajar Arab-Melayu, sempat berganti buku pelajaran. Ada kaidah yang berubah dari buku sebelumnya kepada buku yang baru, terang Nurmi. Ada beberapa bagian di dalam buku lama yang dimasukkan, tapi lebih banyak yang baru. ‘’Itu menunjukkan ada pembaruan juga dalam Arab-Melayu. Tidak masalah, yang penting Arab-Melayu tetap ada. Sangat membantu bagi anak-anak kita yang mau meneruskan ke MTs,’’ sambung Nurmi.