TELUKKUANTAN, (RIAUPOS.CO) - Sidang praperadilan (prapid) dugaan kasus korupsi SPPD fiktif 2019 di BPKAD Kuansing, Kamis (1/4/2021) pemohon dan termohon masing-masing menghadirkan saksi termasuk saksi ahli dari kuasa hukum Kepala BPKAD Kuansing HA sebagai tersangka.
Jalannya persidangan sejak pukul 13.30 WIB berlangsung maraton. Sidang dipimpin hakim tunggal, Timothee Kencono Malye SH.
Saat menghadirkan saksi ahli dari pemohon dari Fakultas Hukum Universitas Riau, Erdiansyah SH MH menjelaskan secara formil dalam penetapan tersangka
harus ada minimal dua alat bukti termasuk kerugian keuangan negara sebagaimana yang dalam pasal 2 ayat 1 jo pasal 3 jo pasal 18 UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kerugian negara itu, merupakan hasil audit dari lembaga negara yang diberi kewenangan untuk itu, dalam kasus ini dari BPK RI Perwakilan Riau.
"Itu prosedur dalam penetapan tersangka sesuai dengan UU Tipikor itu," ujarnya.
Bila tidak ada hasil audit lembaga negara yakni BPK RI, maka penetapan tersangka cacat hukum.
Hakim Timothee Kencono Malye SH dan tim Kejaksaan Negeri Kuansing yang dipimpin Kasi Pengelolaan BB Mona SH Simanjuntak SH MH dan rekannya sebagai termohon beberapa kali melayangkan pertanyaan pada saksi ahli, apakah hanya BPK RI yang punya kewenangan untuk melakukan audit. Apakah tidak ada lembaga lain yang berwenang sesuai UU dan peraturan yang ada. Namun saksi ahli Erdiansyah menjawab hal ini hanya BPK RI.
Dua kuasa hukum tersangka HA, Bangun Sinaga SH MH dan Risky Poliang SH memperkuat pernyataan saksi ahli bahwa dari hasil audit BPK RI Perwakilan Riau tahun 2019 tidak ada temuan kerugian keuangan negara. Itu pun di pertegas pada seluruh saksi yang hadir di persidangan.
Sementara tiga orang saksi yang dihadirkan kuasa hukum HA, masing-masing Sani staf bagian anggaran, Fitriana staf di Sekretariat dan Martono Kasubag Anggaran di BPKAD Kuansing, mengakui sudah mengembalikan uang atas instruksi pimpinan. Karena nama mereka tercantum dalam rekap SPPD fiktif itu.
Sani mengaku mengembalikan uang sekitar Rp2,4 juta lebih yang merupakan biaya transportasi perjalanan dinas ke Kota Pekanbaru. Sementara Fitriana staf di Sekretariat BPKAD Kuansing mengembalikan uang sebesar Rp2,9 juta perjalanan ke BPKAD Kota Pekanbaru.
Sedangkan Martono Kasubag Anggaran BPKAD Kuansing mengembalikan uang sebesar Rp4,2 juta. Uang itu merupakan uang transportasi perjalanan dinas ke BPKAD Kota Pekanbaru dan BPKAD Riau 2019.
Ketiganya tahu, kalau yang mengacu perjalanan dinas sesuai Perbup Nomor 59/2018. Mereka dipanggil karena ketidaklengkapan dokumen seperti kwitansi, bon minyak dan lainnya.
Menurut Martono, selama ini jika termanfaatkan 75 persen tidak perlu ada bukti penggunaan termasuk bon minyak kecuali 100 persen penggunaannya. Namun perjalanan dinas ke luar kota provinsi hanya boleh dua hari.
Ia mengakui kalau di 2019 ada anggaran perjalanan dinas. Ia pernah melakukan perjalanan dinas ke Pekanbaru.
Tim Kejaksaan Negeri Kuansing yang di pimpin Kasi Pengelolaan BB Mona SH Simanjuntak SH MH dan tiga rekannya meghadirkan lima orang saksi. Masing-masing Yeni Maryati Bendahara Pengeluaran, Kabid Akutansi Riati, Kabid Pengelolaan Aset BPKAD Kuansing Hasvirta Indra, Kabag Hukum Setda Kuansing Suryanto SH dan Hendra Sales Marketing Hotel GZ Pekanbaru.
Yeni Maryati sebagai Bendahara Pengeluaran BPKAD Kuansing mengakui perjalanan dinas berdasarkan Perbup Nomor 59/2018 itu. Di mana diatur, perjalanan dinas ke dalam kota provinsi hanya dibolehkan dua hari. Namun diketahui ada lebih dua hari. Lima hari, tujuh hari bahkan lebih.
"Bila ada SPT (surat perintah tugas) dari pimpinan yakni HA, saya bayarkan sesuai harinya," ujarnya.
Tapi jika ada undangan kegiatan atau pelatihan, kata Yeni, boleh lebih dari hari dengan catatan ada surat undangannya.
Kabid Akuntansi Rianti pun mengatakan yang sama. Ia pernah bertanya pada HA sebagai kepala badan ketika mereka harus menginap di Hotel GZ Pekanbaru berhari-hari dan tidak pulang ke Kuansing. Sementara itu membutuhkan biaya. Pendapat HA menyarankan agar dilakukan silang subsidi dengan yang ada SPT. Meski ragu, ia pun melakukannya.
"Apakah itu diperbolehkan dalam Perbup itu? Tanya Mona. Tidak," jawab Rianti.
Hasvirta Indra dalam sidang Prapid mengakui kalau namanya dan beberapa nama stafnya dibuatkan SPT ke Sumatera Barat. Sementara mereka tidak pergi. Uang tersebut sekitar Rp10 juta lebih diserahkan pada HA sebagai tersangka. HA menjawab anggaran itu digunakan untuk kebijakan pimpinan.
Lalu Hendra Sales Marketing Hotel GZ mengatakan kalau dirinya pernah diperiksa oleh penyidik Kejaksaan Negeri Kuansing soal bil hotel manual dan ganda. Ia menjelaskan kalau pendapatan resmi hotel harus masuk dalam sistem Porpro Hotel. Di luar itu, maka itu tidak sah atau fiktif.
Kabag Hukum Setda Kuansing, Suryanto SH yang dihadirkan hanya mempertegas soal Perbup Nomor 59/ 2018 yang menjadi acuan perjalanan dinas.
Dalam Perbup itu diatur soal lama hari, transportasi, penginapan dan lainnya. "Kalau yang lain, saya tidak tahu pasti," ujarnya.(dac)