JAKARTA (RIAUPOS.CO) - Kasus mutilasi yang dilakukan Brigadir Petrus Bakus pada dua anaknya diduga karena anggota Polres Melawi itu karena sakit jiwa, tepatnya skizofrenia. Prilaku keji karena sakit jiwa itu, sayangnya belum membuat Polri tergugah untuk melakukan tes kesehatan jiwa secara berkala. Padahal, beban kerja seorang anggota polisi begitu besar dan memicu stres.
Kejadian mutilasi itu bermula pukul 00.15 di rumah Brigadir Petrus di Komplek Asrama Polres Melawi. Saat itu Windri, istri Petrus yang tidur di kamarnya terbangun dan melihat suaminya memegang parang. Pada sang istri, Petrus sempat menggumam, “Mereka baik, mereka pasrah. Maafkan papa ya Dik.”
Ternyata, dua anaknya Fabian (4) dan Amora (3) sudah tewas dengan keadaan yang mengenaskan. Keduanya dimutilasi pada hampir semua bagian tubuhnya. Bahkan, kedua kaki dari Fabian sudah terpotong.
Istri pelaku langsung kaget dan berteriak, lalu kabur dari rumah dan meminta pertolongan pada anggota Sat Intelkam Brigadir Sukadi yang rumahnya berdekatan. Sukadi yang terbangun lantas mengamankan Windri. Ternyata, tidak lama kemudian Petrus keluar dari rumahnya dan duduk di teras.
Merespon kejadian tersebut, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menegaskan, hingga saat ini anggota polisi itu terus diperiksa. Dugaan penyebabnya karena sakit skizofrenia. “Namun, ada laporan juga kalau kesurupan saat itu,” tuturnya.
Apa yang akan dilakukan untuk mencegah kejadian yang sama pada anggota kepolisian? Dia menuturkan bahwa sebenarnya tes kejiwaan telah dilakukan untuk memfilter setiap orang yang ingin bergabung dengan kepolisian.
“Namun, ternyata untuk pelaku ini memang sudah sejak beberapa tahun lalu terindikasi sakit jiwa,” ujarnya.
Namun, sayang indikasi itu tidak diketahui oleh atasannya atau pejabat kepolisian. Sehingga, kejadian tersebut memang tidak bisa dicegah.
“Sejak empat tahun lalu, kalau sesuai laporan,” jelasnya.
Apakah ada rencana untuk melakukan tes berkala? Dia mengaku belum ada keputusan tersebut. Yang penting, saat rekrutmen itu sudah ada serangkaian tes, salah satunya soal tes psikologi dan kejiwaan. “Kan sudah pernah, buat apa lagi,” ujarnya.
Terkait pengawasan melekat yang seharusnya dijalankan atasannya, Badrodin juga mengelak. Menurutnya, pengawasan terus dilakukan, namun sakit semacam itu belum tentu terlihat gejalanya. “Gejalanya muncul hanya saat ada masalah. Tapi saat kerja belum tentu kelihatan sakitnya,” paparnya.
Sementara Inspektorat Pengawas Umum (Irwasum) Polri Komjen Dwi Priyanto menjelaskan, tindakan yang dilakukan anak buahnya merupakan pidana. Tentunya, hal semua orang harus diproses secara adil di mata hukum.
“Kami akan hukum sesuai perbuatannya. Tapi tentunya dicek secara mendalam soal kesehatan jiwanya,” jelasnya.
Psikolog Adityana Kasandra Putranto berharap polisi jangan gegabah menyimpulkan bahwa polisi yang memutilasi kedua anaknya itu mengidap skizofrenia.
’’Pengalaman saya, dari sepuluh kasus mutilasi, hanya satu kasus yang pelakunya schizophrenia,’’ kata Managing Director Psychological Practice Kasandra & Associates itu.