JAKARTA (RIAUPOS.CO) -- Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi kronis saluran cerna yang terjadi akibat kombinasi kerentanan genetik, paparan lingkungan, dan disregulasi respons imun terhadap microbiota usus. Penyakit ini bisa ditandai dengan diare dan dikenal sebagai penyakit autoimun pada usus kronis. Kondisi ini bisa menciptakan komplikasi hingga kematian bagi penderitanya.
IBD dibedakan atas dua jenis, yakni kolitis ulseratif (KU, Ulcerative colitis/UC) dan penyakit Crohn (PC, Crohn's disease/CD). Apabila terdapat kesulitan membedakan keduanya, maka kelainan tersebut termasuk ke dalam kategori indeterminate colitis (IC).
Dari seluruh pasien dengan IBD yang melibatkan kolon, terdapat sekitar 10 persen kondisi IC. IBD dapat mengakibatkan kualitas hidup yang buruk, angka morbiditas yang tinggi, dan tidak jarang menyebabkan komplikasi yang memerlukan perawatan dan prosedur bedah.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam RSCM-FKUI dr Rabbinu Rangga Pribadi SpPD mengatakan, dalam praktiknya, pengobatan IBD sangatlah dinamis karena proses penyakitnya yang juga dinamis. Artinya di satu waktu IBD dapat terkontrol dengan obat serta diet, namun di waktu lainnya penyakit tersebut dapat mengalami kekambuhan.
"Para dokter memiliki berbagai macam pilihan pengobatan walaupun beberapa obat seperti agen biologik tak dapat diakses secara luas karena tidak ditanggung jaminan kesehatan nasional (JKN). Kadang pasien kami memerlukan kombinasi 2 obat untuk mengontrol radang usus yang terjadi. Beberapa juga memerlukan operasi untuk membuang bagian usus yang mengalami peradangan," tuturnya dalam konferensi pers virtual, Rabu (20/1).
Sulitnya Diagnosis
Menurut dr Rabbinu, pada dasarnya, kesulitan pertama yang paling sering dihadapi adalah memastikan diagnosis pada pasien tersebut apakah IBD atau radang usus yang disebabkan infeksi lainnya. Kesulitan kedua yang juga paling sering dihadapi adalah terbatasnya akses pasien terhadap agen biologik karena masalah biaya.
"Padahal, berbagai penelitian menunjukkan bahwa agen biologik memiliki manfaat yang besar terutama pada pasien IBD dengan derajat keparahan sedang dan berat," jelas dr Rabbinu.
Menurutnya, kesadaran dan pengetahuan tentang IBD sangat diperlukan. Baik bagi pasien IBD, keluarga, dan caregiver, bahkan bagi masyarakat luas. Saat didiagnosis IBD, pasien perlu memahami bahwa proses peradangan pada penyakit ini dapat mereda jika berkomitmen menjalani pengobatan. Serta modifikasi gaya hidup dengan pola makan yang sesuai dengan tingkatan IBD serta berolahraga.
"Perlu ada edukasi berkelanjutan untuk mendidik berbagai pihak bahwa beban penyakit ini terus meningkat. Persiapan yang perlu dilakukan oleh caregiver adalah pemberian dukungan psikososial karena penderita IBD rentan mengalami depresi dan kecemasan," jelasnya.
Tatalaksana Pengobatan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Gastroenterologi Hepatologi RSCM-FKUI Prof dr Marcellus Simadibrata PhD SpPD KGEH FACG FASGE, mengatakan perlu ada pemeriksaan yang benar bagi pasien IBD. Diagnosis IBD ditentukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, temuan patologi, radiologi, endoskopi (untuk Crohn's Disease) dan kolonoskopi (untuk kolitis ulseratif/UC).
"Pemeriksaan laboratorium juga bisa dilakukan untuk membantu, meskipun yang utama, dalam penegakan diagnosis. Misalnya seperti tes untuk anemia atau infeksi dan stool studies (tes darah atau organisme tersembunyi seperti parasit, dalam feses)," jelas Prof Marcellus.
Tatalaksana penyakit IBD bisa lewat terapi obat, operasi pembedahan, atau kombinasi keduanya. Bisa dilakukan terapi simtomatis, terapi step-wise, atau intervensi pembedahan.
Beberapa jenis obat dapat digunakan untuk mengobati IBD, seperti aminosalisilat, kortikosteroid (seperti prednison), dan imunomodulator. Beberapa jenis vaksinasi direkomendasikan juga bagi pasien IBD sebagai bentuk pencegahan infeksi. IBD yang kronis mungkin memerlukan pembedahan untuk mengangkat bagian saluran pencernaan yang rusak.
Salah satu pilihan obat inovatif yang dapat digunakan untuk perawatan pasien dengan Kolitis Ulseratif (UC) aktif, sedang, hingga parah dan Penyakit Crohn (CD) adalah vedozulimab. Studi menunjukkan temuan hasil jangka panjang yang konsisten dengan profil keamanan vedolizumab yang memiliki tingkat remisi klinis konsisten dan remisi klinis bebas kortikosteroid.
"Akan tetapi dengan adanya kemajuan dan inovasi dalam pengobatan dengan obat-obatan, tindakan pembedahan sudah jarang dilakukan sejak beberapa tahun belakangan," tuturnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Rinaldi