PEKANBARU (RIAUPOS.CO) - Setelah menjalani 25 kali persidangan selama 4 bulan, sejak 22 Agustus 2023, terdakwa Bupati Kepulauan Meranti nonaktif Muhammad Adil akhirnya divonis, Kamis (21/12) petang. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru menjatuhkan hukuman penjara kepada Adil selama sembilan tahun.
Lewat pemeriksaan 129 saksi, 474-an barang bukti, dan saksi-saksi ahli, Ketua Majelis Hakim M Arif Nuryanta didampingi Hakim Anggota Salomo Ginting dan Adrian HB Hutagalung membacakan vonis Adil, kemarin. ‘’Menjatuhkan pidana kepada Muhammad Adil dengan hukuman pidana penjara selama 9 tahun dan denda Rp600 juta. Dengan ketentuan jika tidak membayar diganti kurungan 6 bulan,’’ ujar hakim membacakan amar putusan, Kamis (21/12).
Selain hukuman penjara dan denda, hakim juga menghukum Adil untuk membayar uang pengganti kerugian negara senilai Rp17,82 miliar tepatnya Rp17.821.923.078. Apabila uang tidak dibayar paling lama 1 bulan setelah inkrah, maka harta bendanya akan disita. Apabila terpidana tidak memiliki harta, maka diganti 3 tahun penjara.
Vonis itu dijatuhkan karena Adil dinyatakan bersalah melanggar melanggar Pasal 12 huruf f juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHPidana.
Adil dinyatakan melakukan korupsi senilai Rp17.821.923.078 (Rp17,82 miliar) hasil pemotongan sebesar 10 persen setiap pencairan Uang Persediaan (UP) dan Ganti Uang (GU) kepada masing-masing organisasi perangkat daerah (OPD) di lingkungan Pemkab Kepulauan Meranti yang terjadi pada APBD 2022 dan 2023.
Kemudian, melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor.
Pasal itu terkait gratifikasi yang diterima Adil dari mantan Plt Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kepulauan Meranti Fitria Nengsih yang juga Kepala Cabang PT Tabur Muthmainnah Tour senilai Rp750 juta. Uang itu merupakan fee pemberangkatan 250 jemaah umrah yang dibiayai APBD Kepulauan Meranti pada 2022.
Mantan anggota DPRD Riau ini juga bersalah melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHPidana.
Dalam hal ini, terdakwa bersama Fitria Nengsih sekitar April 2023, memberikan suap kepada auditor BPK Perwakilan Riau Muhammad Fahmi Aressa sebesar Rp1.010.000.000 (Rp1,01 miliar) yang bersumber dari uang yang dikumpulkan dari sejumlah pejabat dan pimpinan OPD Pemkab Kepulauan Meranti. Bersama sejumlah pemberian barang dan fasilitas lainnya, suap ini dimaksudkan agar laporan keuangan Pemkab Meranti meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Vonis hakim ini hampir sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut Muhammad Adil agar dihukum 9 tahun penjara. Permintaan JPU agar Adil didenda sebesar Rp600 juta subsider 6 bulan penjara juga dikabulkan.
Selain itu tuntutan JPU agar Adil dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp17,82 miliar, tepatnya Rp17.821.923.078 juga dikabulkan. Bedanya, hakim hanya memberikan subsider 3 tahun kurungan apalagi uang pengganti tidak dibayar, sementara JPU menuntut 5 tahun. Atas vonis tersebut, Adil usai sidang menyatakan akan melakukan banding. ‘’Akan banding. Dalam satu atau dua hari ini,’’ ungkapnya.
Sementara itu, Tim JPU KPK Ikhsan Fernandi, Fenky Indra dan Budiman Abdul Karib menyatakan cukup puas dengan vonis hakim. Karena putusan itu hampir persis sesuai dengan tuntutan mereka sebelumnya. Ikhsan memaklumi bila Adil ingin mengajukan banding. ‘’(Banding) itu hak dia. (Vonis hakim) hampir sama dengan tuntutan kita, di atas 90 persen, bisa dikatakan 97 persen sesuai tuntutan kita,’’ kata Ikhsan.
Ikhsan juga menanggapi terkait adanya berkas atau barang bukti yang diputuskan hakim untuk dikembalikan ke JPU KPK. Secara eksplisit, ini terkait peluang bakal adanya tersangka baru dari perkara Muhammad Adil ini. ‘’Iya, bakal ada (pengusutan). Tapi belum (ada tersangka), itu nanti ya,’’ sebut Jaksa senior KPK ini.
JPU KPK sendiri begitu jeli dan runut dalam membuktikan dakwaannya. Selama 25 kali sidang dalam 4 bulan, sebanyak 129 saksi dihadirkan ke dalam persidangan. Itu belum termasuk saksi ahli yang mereka hadirkan. Itu diperkuat dengan 474 barang bukti. Semua itu kemudian dirangkum dalam tuntutan setebal 1.139 halaman.
Perbuatan culas Adil ini pertama kali terungkap ketika dirinya bersama Ketua Tim Auditor BPK RI Perwakilan RI Muhammad Fahmi Aressa, mantan Plt Kepala BPKAD Kepulauan Meranti Fitria Nengsih terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK, di Selatpanjang, Kapulauan Meranti pada 7 April 2023 lalu.
Pada perkara korupsi Adil ini, Fitria Nengsih dinyatakan bersalah dihukum 2 tahun 6 bulan penjara. Kini istri siri Adil tersebut sedang menjalani hukumannya. Sementara Fahmi Aressa yang dituntut dalam berkas terpisah, divonis 4 tahun 3 bulan penjara pada hari yang sama saat vonis Adil ditetapkan.
Hakim dalam amar putusan menyatakan, Fahmi bersalah menerima gratifikasi sebesar Rp1,01 miliar dan sejumlah pemberian lainnya. Majelis Hakim menyatakan Fahmi terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 12B Undang-undang (UU) No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
‘’Menyatakan Muhamad Fahmi Aressa secara sah dan meyakinkan bersalah, oleh karena itu menghukum terdakwa dengan pidana penjara pidana penjara 4 tahun 3 bulan dan denda Rp250 juta,’’ Hakim membacakan amar putusan.
Bila denda tidak dibayar, maka diganti pidana 4 bulan kurungan. Selain itu Fahmi dihukum membayar uang pengganti Rp3 juta yang apabila tidak dibayar dalam waktu 1 bulan setelah putusan inkrah hartanya disita. Bila tidak punya harta, maka diganti dengan 6 bulan kurungan.
Fahmi dinyatakan terbukti menerima uang gratifikasi senilai Rp1,01 miliar, sejumlah pemberian barang dan fasilitas lainnya dari Bupati Kepulauan Meranti nonaktif Muhammad Adil. Sejumlah pemberian itu dimaksudkan untuk mengkondisikan hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Meranti 2022, agar meraih oponi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Tuntutan itu sesuai dengan pasal yang didakwakan. Yaitu Pasal 12B Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Vonis majelis hakim ini juga hampir sama dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
JPU KPK Ikhsan Fernandi, Budiman Abdul Karib, Fenky Indra dan tim sebelumnya menuntut Fahmi Aressa agar dihukum penjara 4 tahun 3 bulan dan denda Rp250 juta. Selain itu, Fahmi juga dituntut membayar uang pengganti sebesar Rp3 juta.
‘’Yang beda cuma subsider uang pengganti. Kita minta 10 bulan kurungan, hakim 6 bulan. Jadi 97 persen vonis hakim sesuai tuntutan kita,’’ sebut Fenky Indra ditemui usai sidang.
Atas putusan hakim tersebut, Fahmi Aressa usai sidang menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut. Terkait permintaan pengembalian sebagian uang yang disita KPK, yang menurutnya milik saudaranya yang hampir Rp700 yang ditolak majelis hakim, Fahmi tidak mempermasalahkan. ‘’Saya menghormati putusan hakim,’’ ungkapnya.
Saat OTT lalu, Tim KPK menyita uang senilai Rp1,7 miliar. Sementara sesuai pemeriksaan saksi, total uang yang diterima Fahmi dari Adil untuk mengondisikan opini WTP hanya senilai Rp1,01 miliar.
Saat pledoi, Fahmi melalui penasehat hukum meminta uang hampir Rp700 juta itu untuk dikembalikan kepada Fahmi. Dengan alasan, uang itu merupakan uang titipan keluarga Fahmi untuk investasi yang belum sempat ia transfer.
Namun permintaan itu ditolak majelis hakim. Pendapat hakim ini sesuai dengan replik JPU KPK atas pledoi Fahmi bahwa Fahmi tidak bisa membuktikan asal-usul uang Rp700 juta itu, melainkan dari keterangan dirinya sendiri saja. Hingga hakim memutuskan uang itu dirampas untuk negara.(das)
Laporan HENDRAWAN KARIMAN, Pekanbaru